![]() |
Artikel di hal. 16 Malut Post (07/09/2012) |
Penyerangan
terhadap penganut Syiah kembali terjadi di Desa Karang Gayam dan Desa
Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 26 Agustus 2012. Peristiwa
penyerangan tersebut mengakibatkan satu orang tewas, dua kritis, dan
empat terluka. Kekerasan diikuti dengan penjarahan harta milik warga
Syiah. 37 rumah ikut hangus dibakar. 284 warga Syiah pun akhirnya
mengungsi. Kejadian serupa pernah terjadi pada 29 Desember 2011.
Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, konflik Sampang tidak lepas dari motif ideologi dan teologi. Bahwa konflik internal keluarga memang ada, tetapi pada dasarnya konflik di sana adalah gesekan antar penganut Sunni dan Syiah.
Ada motif ideologi dan teologi di dalamnya. Dan salah satu sebab menurut Din, adalah adanya sikap sebagian ulama yang sering memutlakkan kebenaran pada kelompok sendiri dengan membuat fatwa sesat terhadap kelompok lain. Hal itu menurut Din, ikut membuat situasi semakin panas (http://news.okezone.com/, 29/08/2012).
Artinya, diakui atau tidak, faktor perbedaan identitas dan klaim kebenaran absolut atas keyakinan tertentu, yang diikuti oleh pernyataan sesat terhadap sebagian kelompok yang berbeda oleh tokoh agama, ikut memberikan legitimasi bagi sebagian orang untuk melakukan kekerasan terhadap mereka yang dicap berbeda. Tentu apa yang dikatakan Din, yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat ini, bisa diklarifikasi secara faktual dan tidak diragukan.
Peristiwa Sampang kembali mengingatkan kita bahwa kelompok minoritas agama di Indonesia masih rentan menjadi sasaran kekerasan. Pemerintah yang semestinya melindungi warga negara nampak masih belum maksimal dalam menunaikan tugas konstitusionalnya itu.
Berdasarkan catatan SETARA Institute tentang kondisi kebebasan dan berkeyakinan di Indonesia untuk tahun 2011, menunjukan bahwa telah terjadi 244 peristiwa pelanggaran yang mengandung 299 bentuk tindakan pelanggaran. Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga (31 kasus) dari 17 wilayah yang memiliki tingkat pelanggaran atas hak kebebasan dan berkeyakinan.
Dari 299 bentuk tindakan, terdapat 105 pelanggaran yang melibatkan negara, yakni 95 tindakan berbentuk aktif (by commission) serta 10 di antaranya adalah tindakan pembiaran (by ommission). Institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (40 tindakan).
Selain itu, warga negara juga ikut melakukan pelanggaran dengan 194 tindakan. Semuanya tergolong tindak pidana, yang menuntut pertanggungjawaban hukum. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (55 peristiwa), penyesatan keagamaan (26 peristiwa), dan pengrusakan tempat ibadah (25 peristiwa), intimidasi (13 peristiwa), pelarangan pendirian tempat ibadah (10 peristiwa), dan pembubaran aktivitas ibadah (7 peristiwa), dll.
Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah masyarakat (80 tindakan), ormas keagamaan (28 tindakan), dan MUI (28 tindakan), dll. Pelanggaran paling banyak menimpah kaum Ahmadiyah (144 peristiwa), kaum Kristiani (54 peristiwa) dan kelompok keagamaan minoritas lain (38 peristiwa).
Pelanggaran atas hak dan kebebasan berkeyakinan ini menjadi rumit karena kecenderungan kekerasan yang terjadi terlegitimasi oleh sikap aktif maupun pembiaran oleh aparat saat kekerasan itu terjadi, seperti yang tercermin pada kasus penyerangan kaum Syiah di Sampang kapan lalu itu.
Kemajemukan identitas
Konflik kekerasan atas nama identitas tertentu, semisal agama, terlegitimasi oleh konstruksi identitas agama dan sosial sebagai tunggal. Menurut Amartya Sen (2006), salah satu faktor pemicu konflik kekerasan sektarian atau pun atas nama agama adalah karena adanya kecenderungan klaim, cara melihat diri sendiri, termasuk menjadikan identitas sosial tertentu sebagai tunggal dari satu kelompok terhadap kelompok lain.
Klaim identitas yang cenderung mangabaikan identitas sosial lain ini lantas secara pukulrata membagi orang ke dalam kategori ”kita” dan ”mereka”. Kategorisasi “sesat” dan tidak adalah bentuk lain dari sikap pukulrata ini.
Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, konflik Sampang tidak lepas dari motif ideologi dan teologi. Bahwa konflik internal keluarga memang ada, tetapi pada dasarnya konflik di sana adalah gesekan antar penganut Sunni dan Syiah.
Ada motif ideologi dan teologi di dalamnya. Dan salah satu sebab menurut Din, adalah adanya sikap sebagian ulama yang sering memutlakkan kebenaran pada kelompok sendiri dengan membuat fatwa sesat terhadap kelompok lain. Hal itu menurut Din, ikut membuat situasi semakin panas (http://news.okezone.com/, 29/08/2012).
Artinya, diakui atau tidak, faktor perbedaan identitas dan klaim kebenaran absolut atas keyakinan tertentu, yang diikuti oleh pernyataan sesat terhadap sebagian kelompok yang berbeda oleh tokoh agama, ikut memberikan legitimasi bagi sebagian orang untuk melakukan kekerasan terhadap mereka yang dicap berbeda. Tentu apa yang dikatakan Din, yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat ini, bisa diklarifikasi secara faktual dan tidak diragukan.
Peristiwa Sampang kembali mengingatkan kita bahwa kelompok minoritas agama di Indonesia masih rentan menjadi sasaran kekerasan. Pemerintah yang semestinya melindungi warga negara nampak masih belum maksimal dalam menunaikan tugas konstitusionalnya itu.
Berdasarkan catatan SETARA Institute tentang kondisi kebebasan dan berkeyakinan di Indonesia untuk tahun 2011, menunjukan bahwa telah terjadi 244 peristiwa pelanggaran yang mengandung 299 bentuk tindakan pelanggaran. Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga (31 kasus) dari 17 wilayah yang memiliki tingkat pelanggaran atas hak kebebasan dan berkeyakinan.
Dari 299 bentuk tindakan, terdapat 105 pelanggaran yang melibatkan negara, yakni 95 tindakan berbentuk aktif (by commission) serta 10 di antaranya adalah tindakan pembiaran (by ommission). Institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (40 tindakan).
Selain itu, warga negara juga ikut melakukan pelanggaran dengan 194 tindakan. Semuanya tergolong tindak pidana, yang menuntut pertanggungjawaban hukum. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (55 peristiwa), penyesatan keagamaan (26 peristiwa), dan pengrusakan tempat ibadah (25 peristiwa), intimidasi (13 peristiwa), pelarangan pendirian tempat ibadah (10 peristiwa), dan pembubaran aktivitas ibadah (7 peristiwa), dll.
Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah masyarakat (80 tindakan), ormas keagamaan (28 tindakan), dan MUI (28 tindakan), dll. Pelanggaran paling banyak menimpah kaum Ahmadiyah (144 peristiwa), kaum Kristiani (54 peristiwa) dan kelompok keagamaan minoritas lain (38 peristiwa).
Pelanggaran atas hak dan kebebasan berkeyakinan ini menjadi rumit karena kecenderungan kekerasan yang terjadi terlegitimasi oleh sikap aktif maupun pembiaran oleh aparat saat kekerasan itu terjadi, seperti yang tercermin pada kasus penyerangan kaum Syiah di Sampang kapan lalu itu.
Kemajemukan identitas
Konflik kekerasan atas nama identitas tertentu, semisal agama, terlegitimasi oleh konstruksi identitas agama dan sosial sebagai tunggal. Menurut Amartya Sen (2006), salah satu faktor pemicu konflik kekerasan sektarian atau pun atas nama agama adalah karena adanya kecenderungan klaim, cara melihat diri sendiri, termasuk menjadikan identitas sosial tertentu sebagai tunggal dari satu kelompok terhadap kelompok lain.
Klaim identitas yang cenderung mangabaikan identitas sosial lain ini lantas secara pukulrata membagi orang ke dalam kategori ”kita” dan ”mereka”. Kategorisasi “sesat” dan tidak adalah bentuk lain dari sikap pukulrata ini.
Klaim identitas tunggal lantas melahirkan rasa keterikatan yang kuat, bahkan akan mengarahkan orang bersikap ekslusif. Kesetiakawanan yang muncul bisa memicu perselisihan antar kelompok identitas yang dicap berbeda. Bahkan, demi menunjukan loyalitas terhadap identitas, kelompok tertentu bisa dengan leluasa menyakiti, memusuhi, dan memerangi mereka yang dianggap tidak sama itu. Artinya, klaim identitas tunggal amatlah berbahaya, bisa menimbulkan konflik yang menggerikan.
Walau demikian, tidak lantas solusinya adalah kita membuang identitas, dan lantas menyamakan apa yang jelas-jelas berbeda. Yang kita butuhkan adalah cara pandang tepat dalam melihat serta menempatkan identitas sosial tersebut supaya menghindari tindakan brutal atas nama berbeda identitas.
Bagi Sen cara melihat identitas sebagai tunggal ini harus digeser dengan menumbuhkan kesadaran adanya kemajemukan identitas sosial. Bahwa sebagai individu secara bersamaan seseorang itu memiliki banyak identitas kemanusiaan.
Mungkin saja seseorang menganut agama atau berkeyakinan atas hal-hal tertentu sehingga membedakannya dari yang lain. Namun, secara serentak seseorang juga dipastikan memiliki identitas lain yang mungkin sama dengan individu lainnya. Semisal sebagai pekerja (buruh pabrik), seorang laki-laki, sebagai Ayah (dari anak-anak), mungkin pula sebagai seorang pendatang dari kota tertentu, dan bahkan sebagai manusia serta warga negara Indonesia, dst.
Kata lain, seseorang yang berbeda dalam identitas keagamaan, tidak dilantas serta merta bisa berbeda secara total, dan tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan yang lain. Maka, memusuhi mereka yang hanya karena berbeda keyakinan sama saja dengan menyangkali berbagai (kemungkinan) kesamaan identitas lain yang dimilikinya.
Pandangan Sen ini relevan untuk melihat kondisi kebebasan beragama di Indonesia hari-hari ini. Kekerasan atas nama agama yang masih bermunculan adalah cerminan bahwa sebagian dari kita masih condong melihat agama sebagai identitas tunggal dan alasan bertindak. Pemahaman atas kemajemukan identitas sosial diperlukan guna mendorong perubahan cara pikir dalam melihat dan mengelompokan orang, serta guna mencegah suatu pengelompokan tertentu untuk kepentingan aksi-aksi agresif.
Indonesia telah lahir sebagai bangsa dengan keragaman identitas sosial warga negaranya, termasuk dalam soal berkeyakinan. Dan karena itu, peran dan tindakan tegas pemerintah berdasar konstitusi dibutuhkan agar konflik kekerasan sektarian tidak merusak keragaman tersebut.
Di lain pihak, warga negara juga harus mampu secara kritis dan dewasa dalam beragama serta mamahami identitas, agar tidak jatuh pada sikap menjadikan agama sebagai identitas sosial tunggal. Dengan begitu, pluralitas identitas tidak lagi dijadikan pemicu konflik kekerasan yang merugikan, namun sebaliknya bisa kita kelola demi Indonesia damai dan sejahtera.
Sumber (cek hal. 16): Opini Malut Post