Tampilkan postingan dengan label Negara dan Agama. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Negara dan Agama. Tampilkan semua postingan

10 September 2012

Menggugat Identitas Tunggal

Artikel di hal. 16 Malut Post (07/09/2012)
Penyerangan terhadap penganut Syiah kembali terjadi di Desa Karang Gayam dan Desa Bluuran, Kecamatan Omben, Sampang, Madura, 26 Agustus 2012. Peristiwa penyerangan tersebut mengakibatkan satu orang tewas, dua kritis, dan empat terluka. Kekerasan diikuti dengan penjarahan harta milik warga Syiah. 37 rumah ikut hangus dibakar. 284 warga Syiah pun akhirnya mengungsi. Kejadian serupa pernah terjadi pada 29 Desember 2011.

Bagi Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin, konflik Sampang tidak lepas dari motif ideologi dan teologi. Bahwa konflik internal keluarga memang ada, tetapi pada dasarnya konflik di sana adalah gesekan antar penganut Sunni dan Syiah.

Ada motif ideologi dan teologi di dalamnya. Dan salah satu sebab menurut Din, adalah adanya sikap sebagian ulama yang sering memutlakkan kebenaran pada kelompok sendiri dengan membuat fatwa sesat terhadap kelompok lain. Hal itu menurut Din, ikut membuat situasi semakin panas (http://news.okezone.com/, 29/08/2012).

Artinya, diakui atau tidak, faktor perbedaan identitas dan klaim kebenaran absolut atas keyakinan tertentu, yang diikuti oleh pernyataan sesat terhadap sebagian kelompok yang berbeda oleh tokoh agama, ikut memberikan legitimasi bagi sebagian orang untuk melakukan kekerasan terhadap mereka yang dicap berbeda. Tentu apa yang dikatakan Din, yang juga Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia Pusat ini, bisa diklarifikasi secara faktual dan tidak diragukan.

Peristiwa Sampang kembali mengingatkan kita bahwa kelompok minoritas agama di Indonesia masih rentan menjadi sasaran kekerasan. Pemerintah yang semestinya melindungi warga negara nampak masih belum maksimal dalam menunaikan tugas konstitusionalnya itu.

Berdasarkan catatan SETARA Institute tentang kondisi kebebasan dan berkeyakinan di Indonesia untuk tahun 2011, menunjukan bahwa telah terjadi 244 peristiwa pelanggaran yang mengandung 299 bentuk tindakan pelanggaran. Provinsi Jawa Timur menempati urutan ketiga (31 kasus) dari 17 wilayah yang memiliki tingkat pelanggaran atas hak kebebasan dan berkeyakinan.

Dari 299 bentuk tindakan, terdapat 105 pelanggaran yang melibatkan negara, yakni 95 tindakan berbentuk aktif (by commission) serta 10 di antaranya adalah tindakan pembiaran (by ommission). Institusi yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah Kepolisian (40 tindakan).

Selain itu, warga negara juga ikut melakukan pelanggaran dengan 194 tindakan. Semuanya tergolong tindak pidana, yang menuntut pertanggungjawaban hukum. Tindakan yang paling menonjol adalah dalam bentuk intoleransi (55 peristiwa), penyesatan keagamaan (26 peristiwa), dan pengrusakan tempat ibadah (25 peristiwa), intimidasi (13 peristiwa), pelarangan pendirian tempat ibadah (10 peristiwa), dan pembubaran aktivitas ibadah (7 peristiwa), dll.

Kelompok yang paling banyak melakukan pelanggaran adalah masyarakat (80 tindakan), ormas keagamaan (28 tindakan), dan MUI (28 tindakan), dll. Pelanggaran paling banyak menimpah kaum Ahmadiyah (144 peristiwa), kaum Kristiani (54 peristiwa) dan kelompok keagamaan minoritas lain (38 peristiwa).

Pelanggaran atas hak dan kebebasan berkeyakinan ini menjadi rumit karena kecenderungan kekerasan yang terjadi terlegitimasi oleh sikap aktif maupun pembiaran oleh aparat saat kekerasan itu terjadi, seperti yang tercermin pada kasus penyerangan kaum Syiah di Sampang kapan lalu itu.

Kemajemukan identitas 

Konflik kekerasan atas nama identitas tertentu, semisal agama, terlegitimasi oleh konstruksi identitas agama dan sosial sebagai tunggal. Menurut Amartya Sen (2006), salah satu faktor pemicu konflik kekerasan sektarian atau pun atas nama agama adalah karena adanya kecenderungan klaim, cara melihat diri sendiri, termasuk menjadikan identitas sosial tertentu sebagai tunggal dari satu kelompok terhadap kelompok lain.

Klaim identitas yang cenderung mangabaikan identitas sosial lain ini lantas secara pukulrata membagi orang ke dalam kategori ”kita” dan ”mereka”. Kategorisasi “sesat” dan tidak adalah bentuk lain dari sikap pukulrata ini.

Klaim identitas tunggal lantas melahirkan rasa keterikatan yang kuat, bahkan akan mengarahkan orang bersikap ekslusif. Kesetiakawanan yang muncul bisa memicu perselisihan antar kelompok identitas yang dicap berbeda. Bahkan, demi menunjukan loyalitas terhadap identitas, kelompok tertentu bisa dengan leluasa menyakiti, memusuhi, dan memerangi mereka yang dianggap tidak sama itu. Artinya, klaim identitas tunggal amatlah berbahaya, bisa menimbulkan konflik yang menggerikan.

Walau demikian, tidak lantas solusinya adalah kita membuang identitas, dan lantas menyamakan apa yang jelas-jelas berbeda. Yang kita butuhkan adalah cara pandang tepat dalam melihat serta menempatkan identitas sosial tersebut supaya menghindari tindakan brutal atas nama berbeda identitas.

Bagi Sen cara melihat identitas sebagai tunggal ini harus digeser dengan menumbuhkan kesadaran adanya kemajemukan identitas sosial. Bahwa sebagai individu secara bersamaan seseorang itu memiliki banyak identitas kemanusiaan.

Mungkin saja seseorang menganut agama atau berkeyakinan atas hal-hal tertentu sehingga membedakannya dari yang lain. Namun, secara serentak seseorang juga dipastikan memiliki identitas lain yang mungkin sama dengan individu lainnya. Semisal sebagai pekerja (buruh pabrik), seorang laki-laki, sebagai Ayah (dari anak-anak), mungkin pula sebagai seorang pendatang dari kota tertentu, dan bahkan sebagai manusia serta warga negara Indonesia, dst.

Kata lain, seseorang yang berbeda dalam identitas keagamaan, tidak dilantas serta merta bisa berbeda secara total, dan tidak memiliki kesamaan sama sekali dengan yang lain. Maka, memusuhi mereka yang hanya karena berbeda keyakinan sama saja dengan menyangkali berbagai (kemungkinan) kesamaan identitas lain yang dimilikinya.

Pandangan Sen ini relevan untuk melihat kondisi kebebasan beragama di Indonesia hari-hari ini. Kekerasan atas nama agama yang masih bermunculan adalah cerminan bahwa sebagian dari kita masih condong melihat agama sebagai identitas tunggal dan alasan bertindak. Pemahaman atas kemajemukan identitas sosial diperlukan guna mendorong perubahan cara pikir dalam melihat dan mengelompokan orang, serta guna mencegah suatu pengelompokan tertentu untuk kepentingan aksi-aksi agresif.

Indonesia telah lahir sebagai bangsa dengan keragaman identitas sosial warga negaranya, termasuk dalam soal berkeyakinan. Dan karena itu, peran dan tindakan tegas pemerintah berdasar konstitusi dibutuhkan agar konflik kekerasan sektarian tidak merusak keragaman tersebut.

Di lain pihak, warga negara juga harus mampu secara kritis dan dewasa dalam beragama serta mamahami identitas, agar tidak jatuh pada sikap menjadikan agama sebagai identitas sosial tunggal. Dengan begitu, pluralitas identitas tidak lagi dijadikan pemicu konflik kekerasan yang merugikan, namun sebaliknya bisa kita kelola demi Indonesia damai dan sejahtera.

Sumber (cek hal. 16): Opini Malut Post

5 Agustus 2011

Tragedi Norwegia dan Sikap Kita (Kekristenan)

1) Mengusung gerakan antiislam, 2) Mengembalikan paham Kristen puritan, 3) Menghukum warga asli Eropa atas penghianatan terhadap benua mereka sendiri, 4) Mengubah panangan masyarakat Eropa melalui revolusi, 5) Melindungi Norwegia dari serbuan pendatang dari luar Uni Eropa khususnya muslim, 6) Partai Buruh dianggap pendorong terciptanya masyarakat multibudaya.  

Gambar 1: Behring Breivik (Pembunuh yang Beragama Kristen)
Enam poin di atas adalah isi manifesto Anders Behring Breivik (32), seorang pembunuh beragama Kristen fundamentalisme-radikalisme (sayap kanan) Norwegia. Breivik adalah penembak dalam pembunuhan brutal di dua lokasi di Norwegia (22/07/2011), yang menewaskan 93 orang dan melukai 97 orang. Sebelumnya, orang muda ini mengguncang Norwegia dengan meledakan bom di dekat kantor Perdana Menteri Norwegia dan Kementerian Perminyakan di dekat Kota Oslo.

Semua tindakan biadab ini dilakukan Breivik dengan motivasi aneh, yakni karena ketakutan tergerusnya entitas Eropa, termasuk identitas sebagai bangsa mayoritas beragama Kristen. Dia melakukannya karena hendak membendung pengaruh identitas lain terhadap orang dan budaya Eropa, utamanya dari kaum imigran yang beragama Islam.
 
Klaim yang tidak produktif
Umum kita mendengar klaim sebagian orang, bahwa Eropa adalah benua Kristen. Amerika Serikat merupakan negara Kristen. Sepintas nampak benar, apalagi penganut agama Kristen memang pernah mayoritas dan mendominasi jumlah penduduk di sana. Namun, apakah karena itu lantas benua Eropa atau Amerika bisa diklaim sebagai milik entitas tertentu? Tunggu dulu. 

Bagi penulis, cara pandang demikian (klaim-klaim sejenis itu) adalah arogan, juga merupakan bentuk penyangkalan terhadap fakta kemungkinan adanya perubahan. Di Indonesia, sebelum masuk agama Islam—yang kini mayoritas—sudah ada agama-agama suku. Sama, bukankah sebelum Kekristenan sampai, masyarakat Eropa sudah memiliki budaya dan mayoritas beragama suku tertentu?

Maka, klaim bahwa Eropa adalah benua Kristen adalah kekeliruan memandang perjalanan sejarah, pun merupakan cara pandang sempit: yang kerap melahirkan sikap picik, dan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu, seperti yang dialami sebagian orang Eropa, termasuk oleh Breivik. 

Hari ini bisa jadi masyarakat Eropa mayoritas masih beragama Kristen, tetapi bukan berarti benua itu akan selalu didominasi orang Kristen. Suatu saat, dan hari ini sudah sangat terbuka untuk terjadi, jumlah mayoritas penganut agama bisa berubah. Untuk itu, orang Eropa dan termasuk masyarakat Indonesia, harus mulai belajar memahami dan menerima bahwa fase di mana suatu identitas mendominasi wilayah tertentu, sejatinya itu hanyalah secuil bagian dari sejarah yang mana suatu saat akan berganti. Tak ada hal yang terlalu rumit untuk ditakutkan terhadap kemungkinan perubahan itu. Apalagi memeluk agama adalah hak tiap-tiap orang.
 
Gambar 2: Islam disudutkan
Konteks Indonesia
Sebelum pengaruh Islam masuk dan mendominasi pulau Jawa dan atau Indonesia, jauh hari sudah ada agama mayoritas, yakni penganut animisme dan dinamisme. Maka, jika hari ini penganut Islam nampak mayoritas, sesungguhnya itu bagian dari serangkaian sejarah sesaat, yang suatu waktu bisa berganti. 100 tahun lagi penganut agama Kristen mungkin saja menjadi mayoritas. Atau bisa jadi, malah animisme—setelah dimodifikasi—mendapat pengikut yang terbanyak.

Siapa yang bisa menduga, kalau hal itu akan terjadi? Itu sangat mungkin, maka kita harus menyiapkan diri. Bersiap untuk legowo atau berbesar hati kalau-kalau suatu saat di Indonesia yang mayoritas bukan lagi penganut agama Islam. Atau di suatu daerah (Kota atau Kabupaten dan atau Propinsi) tertentu kelak yang mayoritas bukan lagi penganut Agama Kristen, Budha, dan atau Hindu (dst).

Kegalauan tergerusnya identitas, rupanya bukan saja milik orang Eropa dan masalah kita secara nasional. Dalam konteks lokal—dengan adanya otonomi daerah—sebagain wilayah negeri ini ikut melahirkan dan mengembangkan kebijakan publik yang bernuansa sektarian. Karena merasa didominasi agama atau bersuku mayoritas tertentu, maka sebagian pemerintah daerah mengeluarkan ragam aturan dalam rangka membendung atau menjaga keaslian entitas masyarakat di wilayahnya.

Hasil penelitian beberapa peneliti dan antropolog kaitan ini tercatat secara gamblang dalam “Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru (2011)”. Kebijakan publik yang terindekasi bernuansa kepentingan golongan tertentu terjadi hampir di semua daerah. Mulai Aceh, Bali, Papua, dan bahkan di Sulawesi Utara (dst). 

Di Papua Barat, Kota Manokwari, misalkan, beberapa tahun lalu dihebohkan dengan adanya Rencana Peraturan Daerah Kota Injil. Ragam alasan dikemukakan oleh penggagas (tokoh agama dan masyarakat setempat), namun faktor ingin membendung pengaruh dari luar dalam rangka menjaga identitas asli orang Papua di sana (yang mayoritas beragama Kristen), utamanya sebagai Kota Injil terlalu sulit disembunyikan. Beberapa tokoh masyarakat dan agama Kota Manokwari secara terbuka juga mengakui niatan itu.

Walau mereka akui bahwa apa yang diperbuat itu keliru, tetapi sikap politisasi agama oleh sebagian daerah di Indonesia—utamanya adalah kasus Aceh yang diberikan keleluasaan menerapkan hukum agama—telah mendorong mereka untuk bersemangat segera membuat Perda itu, dan segera menerapkannya.

Pelajaran buat kita
Menurut Tajuk Rencana Sinar Harapan (25/072011), “berdasar pengakuan Breivik kepada polisi, dirinya ingin mengubah struktur masyarakat Norwegia dan Eropa melalui sebuah revolusi (poin ke-4 manifestonya). Saat memeriksanya, polisi menemukan dekomen 1.500 halaman yang berisi rencana serangan. Bahkan dokumen yang bernada antiislam berjudul 2093-Deklarasi Kemerdekaan Eropa dipasangnya beberapa jam sebelum melakukan serangan.” 

Tak bisa dipungkiri bahwa unsur ketakutan menurunnya jumlah penganut, serta ketakutan tergerusnya dominasi Kristen di Eropa adalah penyebab utama lahirnya reaksi-reaksi yang tidak perlu (negatif), bahkan bisa berbentuk kekerasan ala-Breivik. Padahal, semestinya penurun jumlah itu harus disikapi secara otokritik: ada apa dengan cara dan pola beragama (agama) kita sampai-sampai tak ada orang yang berminat? 

Sayangnya, fakta menurunnya peminat agama Kristen malah direspon dengan mencari kambing hitam: menjadikan kehadiran orang lain—dengan ragam identitasnya—sebagai lawan dan musuh yang harus dibinasakan. Pola pikir dan cara merespon demikian tentu adalah keliru dan kebodohan!

 Gambar 3: Kesedihan pasca penembakan
Dalam konteks Indonesia (yang majemuk), kita harus mampu kembangkan sikap trimo, luwes, terbuka, serta membiarkan agama-agama serta penganutnya yang ada itu tumbuh dan berkembang secara bebas dan setara. Yang terpenting adalah kita perlu menjaga dan mendorong agar negara (melalui pemerintah) tetap netral serta tampil kuat dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsinya. Negara mesti mampu menjamin agar kehadiran dan persentuhan antar manusia yang berbeda identitas tidak saling mencelakakan bahkan saling membunuh.

Fakta Tragedi Norwegia kapan lalu telah menunjukan kepada kita, bahwa manusia-manusia sejenis Osama Bin Laden juga banyak berkeliaran di Eropa dan berwajah kudus. Dan, juga kian mengkonfirmasi bahwa kejahatan dan kekerasan atas nama agama bukanlah monopoli sebagian penganut agama dan umat tertentu. Fundamentalisme dan radikalisme (dalam arti negatif) adalah milik dan berpotensi dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh penganut Kristen sekalipun: orang yang nampak alim, saleh, dan rajin membaca Kitab Suci.


Sumber gambar: 
1. http://internasional.kompas.com/read/2011/08/18/02525028/Breivik.Punya.Bom.Lain.yang.Lebih.Besar 
2. http://www.eramuslim.com/berita/dunia/tragedi-norwegia-mereka-yang-ingin-mengobarkan-sentimen-anti-islam.htm
3. http://foto.vivanews.com/read/3913/57880-tragedi-berdarah-di-pulau-utoya

22 Februari 2011

Jaga Jarak Agama

Gambar 1: Agama-agama
Rasanya tidak masuk akal, di Indonesia yang penghuninya dikenal mayoritas beragama, tindakan anti agama justru merajarela; tindakan anarkis merusak yang melawan agama seakan membudaya. Padahal, agama menolak kekerasan. Tapi mengapa kekerasan atas nama agama kian mengila di negeri ini?
Kekerasan bertubi menghampiri Indonesia hari-hari ini. Dalam satu pekan, dua kejadian mencoreng agama, merusak tatanan sosial dan mencederai nurani menimpa bangsa kita. Saat bangsa ini belum pulih dari kesedihan akibat kekerasan terhadap warga Ahmadiyah (06/2/2011), di Pandeglang, Banten, yang memakan tiga korban jiwa, kasus tak kalah sadisnya kembali bergelora di Temanggung, Jawa Tengah (08/2/2011), massa merusak tiga gereja.
Posisi agama
Agama (in sich) memang bisa disalahgunakan. Menurut Hariyatmoko (2004: 64-65), ada tiga peran agama yang rentan kekerasan. Pertama, agama sebagai penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi). Konflik dimungkinkan terjadi, sebab penganut agama selalu menjadikan referensi, bahkan klaim ajaran agamanya sebagai legitimasi dalam bertindak di ruang publik. Klaim ini kemudian melahirkan pandangan bahwa nilai yang dimilikinya lebih tepat, atau lebih baik kalau dijadikan sebagai rujukan tunggal hidup bersama.
Kedua, agama sebagai identitas. Agama dijadikan sebagai identitas komunitas tertentu. Identitas keagamaan tertentu diklaim sebagai milik, sehingga mereka yang berbeda dianggap tak berhak menggunakan identitas itu.
Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Dalam hal ini, agama digunakan sebagai pendukung tatanan nilai sosial. Akibatnya, nilai-nilai yang dianggap mendapat pengaruh dari ajaran agama tertentu, serta-merta langsung ditolak oleh mereka yang menganut agama berbeda. Nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia) adalah contoh. Nada penolakan sebagian orang terhadap nilai-nilai universal HAM kerap dilatarbelakangi oleh pemikiran yang terlebih dahulu menolak identitas Kristen; sering diklaim sebagai pemberi dasar nilai-nilai HAM itu.
Peran pemuka agama
Ketiga peran dan sekaligus potensi konflik agama menjadi lengkap tatkala bertemu dengan penganut yang suka menyalahgunakan fungsi agama ini.
Konteks Indonesia, harus diakui bahwa kita tak sulit menemukan khotbah (ceramah) pemuka agama yang turut memicu adanya tindakan kekerasan. Beberapa juru khotbah yang dikenal di Indonesia kerap dengan leluasa, bahkan secara terbuka menyebarkan dogma kekerasan, semisal, membunuh kaum “kafir” atau umat yang sesat adalah benar. Bermacam rekaman (video) berisi khotbah yang memprovokasi itu dengan mudah kita peroleh, semisal melalui youtube.com (lihat contoh video di sini).
Peran penting pemuka agama tak bisa kita pungkiri. Sebagai masyarakat beragama, tokoh agama secara otomatis menjadi anutan dan berpengaruh bagi umat. Oleh karena itu, khotbah-khotbah yang berisi hasutan agar massa jangan takut memusnahkan salah satu umat yang dianggap sesat memang harus disesali. Kalau pemuka agama rajin bersuara bahwa membunuh “orang sesat” adalah halal, maka tak heran ada umat asuhannya yang berani melakukan itu.
Gambar 2: Perlu rasio dalam beragama
Sikap kritis beragama
Di sisi lain, kekerasan atas nama agama tak akan muncul kalau masyarakat juga kritis dalam beragama. Kekerasan bisa dihindari jika masyarakat beragama tidak terjebak pada sikap fanatisme, serta mampu menjaga jarak dengan agama. Konflik tak akan terjadi andai penganut agama mampu mengkritisi, dan berani berkata tidak pada ajaran pemuka agama yang secara nyata menghasut dan atau memberi legitimasi bagi kekerasan.
Penyalahgunaan agama, dengan menjadikannya sebagai ideologi, cenderung mengarahkan kita pada fanatisme. Bagi Hannah Arendt, fanatisme adalah musuh besar kebebasan. Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan. Di mana ada fanatisme beragama, di sana pasti ada pembatasan berkeyakinan.
Lahan subur fanatisme pertama-tama bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi, tetapi lebih dekat dengan “individu massa” yang tidak berkepribadian itu: orang yang tidak bisa membedakan kenyataan dari makna apa yang terjadi; orang yang tidak mau mempertanyakan lagi perbedaan antara kebenaran dan wacana; orang yang terlepas dari dari pijakan realitas. Kelemahan mendasar seorang fanatik ialah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya (Hariyatmoko, 2004).
Fanatisme membuat orang mengidentikan dirinya dengan kebenaran tafsiran. Seseorang akan memandang dirinya (pengetahuannya, pengalamannya, serta penafsiarannya) sebagai yang paling benar dan utama; menempatkan dirinya sebagai ukuran salah dan benar. Maka, jika ada orang yang berbeda dengan dirinya, rasa ketersingungan segera muncul, dan bisa berakhir pada konflik kekerasan.
Fanatisme jelas adalah persoalan manusia beragama. Agar tidak terjebak dalam sikap fanatisme beragama, Paul Ricouer (1986) dalam Hariyatmoko (2004: 67) menawarkan solusi dengan pengambilan jarak terhadap agama. Bagi Paul, konflik kekerasan hanya bisa dihindari apabila masyarakat beragama berhasil menjaga jarak dengan agama.
Menjaga jarak kita lakukan melalui; pertama, Kritik Ideologi. Kritik agama yang dilontarkan Marx, Nietzsche, dan Freud menyumbang di dalam pemurnian pemahaman agama. Kritik agama ini terbentuk di luar proses penafsiran, sebagai kritik ideologi, sebagai kritik atas prasangka dan ilusi agama.
Terbuka terhadap kritik berarti mengakui adanya serangan dari luar, yang mungkin bisa destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi otokritik. Maka jawaban atas kritik bukan pembelaan, tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian agama. Agama atau keyakinan lain yang dipandang berbeda justru menjadi sarana memperkaya konsep agama kita.
Kedua, pembongkaran. Dalam hal ini, kita diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi, tujuan-tujuan serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok dalam beragama. Pembongkaran terhadap ilusi, kepentingan pribadi (pemimpin agama) atau kelompok, serta menghindarkan agama dari motivasi penyalahgunaan agama. Pembongkaran dilakukan melalui reinterpretasi teks, kritis, dan kontekstual.
Kita berani membuka kedok penafsiran yang sering menyembunyikan kepentingan-kepentingan entah pribadi atau kelompok. Kepentingan yang sering disembunyikan di balik monopoli penafsiran bisa ditampilkan untuk dikritisi. Dengan cara ini, ajaran pun diterima atas dasar kebebasan, bukan paksaan. Akhirnya, potensi konflik yang mengatasnamakan (manipulasi) agama juga bisa dipersempit dengan adanya pembongkaran ini.
Pada ujungnya, masyarakat beragama harus diajak untuk mampu membedakan antara wacana dengan kebenaran. Apa yang dikemukakan pemuka agama (apalagi berbau hasutan) adalah bagian dari diskursus ide yang sesungguhnya sangat terbuka untuk dikritisi. Mereka bukanlah manusia super yang lepas dari keterbatasan penafsiran.
Dengan begitu, kecederungan penyalahgunaan peran dan fungsi agama bisa kita hindari. Sikap sering menempatkan agama (dogma serta simbol-simbolnya) sebagai barang suci anti kritik, pemuka agama selalu benar, serta terjebak pada fanatisme yang pasti merugikan pun bisa kita jauhi.

Sumber gambar: 
1. http://rismahutabarat.blogspot.com/2010_01_01_archive.html
2. http://dzulfikar.wordpress.com/category/opini-dan-renunganku/

7 Januari 2011

Polemik Fiksi Domain Negara

Eksekutif Indonesia telah gagal melindungi penghuni negeri untuk bebas beragama. Negara ikut menafikan fakta keberagaman. Muncul kebijakan diskriminatif, merebak berbagai kekerasan berlatar agama adalah bukti kegagalan itu.

Pemerintah melakukan pembiaran penerapan fiksi-menjadi doktrin-bahwa keyakinan ber-Ketuhanan Yang Maha Esa identik dengan enam agama saja. Ajaran fiksi ini pun membudaya di masyarakat, dan terus diterapkan oleh aparatus negeri. Penguasa memolitisasi, sehingga negara “seperti hanya” mengakui, dan menjamin hak dasar penganut Kristen-Katolik, Budha, Islam, Hindu, Khong Hu Cu, dan Kristen-Protestan. 


Akibatnya, tanpa beridentitas agama yang diakui, bukan hanya sulit beribadah, namun hak sebagai warga negara pasti terkebiri, semisal dipersulit masuk pegawai negeri. Ini menimpa penganut agama suku, dan Penghayat Ketuhanan Yang Maha Esa (kurang lebih ada 160 aliran). Penyangkalan keberagaman berlanjut ketika penguasa mewakili negara ikut menentukan-melalui pengadilan-kebenaran suatu tafsiran. Alhasil, penganut agama yang berperkara diwajibkan mengikuti hasil tafsir negara. Jika ada yang berbeda atau dianggap “sesat”, negara berhak memenjarakan.

Kebijakan anti keberagaman ini jelas buah pikir fanatisme. Bagi Hannah Arendt (Haryatmoko, 2004), fanatisme adalah musuh besar kebebasan. Di mana fanatisme tumbuh, di situ ada pemasungan. Sebabnya, wujud fanatisme, dan oleh siapa pun harus kita tolak.
Polemik posisi negara
Konteks Indonesia, kehadiran negara bagi agama masih problematik. Belum ada sepakat di antara elit bangsa kaitan hubungan negara dengan agama. Inilah akar fiksi, fanatisme penguasa, dan akar kebijakan diskriminatif.

Berdasarkan sila pertama Pancasila, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, ada golongan yang menafsir bahwa negara berhak mencampuri urusan internal agama. Bahkan tepat, jika negara ikut menentukan kepercayaan (tafsiran) mana yang benar, dan boleh tumbuh di Indonesia. Namun, ada golongan yang beda tafsiran. Bagi golongan ini, kata “ke-Tuhanan” dalam sila pertama adalah istilah netral yang umum dikenai penganut kepercayaan terhadap “sesuatu” di luar diri yang dianggap “berkuasa”. Pengunaan kata Tuhan, dan bukan Allah atau nama Dewa tertentu menandankan Indonesia adalah negara-sebagai institusi-bebas dominasi teologi. Itu sebab negara harus netral persoalan internal (tafsir) agama, termasuk tidak berposisi mengakui atau tidak mengakui keberadaan suatu kepercayaan. Dua kubu ini terus berkompetisi mendominasi negara. Kemenangan salah satu akan terlihat dalam kebijakan penguasa negeri.

Kaitan di atas, pentinglah menghadirkan ide Henry Meeter (1939: 170) mengenai kedaulatan bidang-bidang sosial. Bagi Meeter, natur negara, begitu juga (lembaga) agama, memiliki domain dengan otoritas mengatur dirinya sendiri. Kedaulatan lembaga agama bukan hasil pemberian penguasa, dan kehadiran lembaga agama tidak bergantung kepada negara. Berarti, adalah suatu kekeliruan jikalau negara atau agama mencampuri domain masing-masing. Bahkan manakala kekuasaan negara mengendalikan, justru berakibat kemorosotan agama. Lanjut Meeter, peran negara tetap diperlukan, namun harus pada batas yang jelas.

Lepas dari itu, negara-secara lembaga-tidak berteologi adalah posisi tepat dengan konteks keindonesiaan. Adalah fakta negeri ini dihuni berbagai keberagaman, sehingga memosisikan negara berteologi tertentu akan melahirkan benturan, dan diskriminasi yang tak berkesudahan. Apalagi, kehadiran negara bagi agama telah jelas digariskan UUD 1945; pasal 28 E ayat (1 dan 2); pasal 28 I ayat (1 dan 2); pasal 29 ayat (1 dan 2), dan atau UU No.39/1999 Pasal 22 ayat (1 dan 2); UU No.12/2005 Pasal 18. Semua rujukan ini menempatkan negara sebagai penjamin hak dan kebebasan rakyat untuk beribadah dan berkeyakinan. 

Negara diharuskan melindungi, dan mendorong supaya agama tidak terhalang untuk berkembang. Selain, merupakan kewajibkan negara menjamin nirpelanggaran hukum atas nama agama. Tidak ada satu pun bagian aturan yang membenarkan-maka tepat disebut fiksi-negara berhak menafsir, bahkan menentukan agama wajib di Indonesia.

Perlu perubahan
Sejarah bangsa ini terus mewarisi konflik keagamaan. Tanpa kesungguhan menyelesaikan akar persoalan, kita akan kembali meneruskan itu. Maka, pertama, adalah penting segera mewujudkan kesepahaman di antara elit bangsa, tokoh agama, dan penghuni negeri mengenai posisi negara terhadap agama. Negara harus berposisi dan berfungsi sesuai amanat Konstitusi. Secara praksis adalah penting segera mereformasi Departemen Agama-terutama mengubah nama dan fungsi Dirjen (Bimas)-agar tidak nampak diskriminatif; kedua, pemerintah diharuskan mencabut dan membatalkan berbagai peraturan, terutama berbagai Perda (Peraturan Daerah) yang bernuansa agama (Syariah); ketiga, penguasa segera menghentikan macam bentuk pembatasan beribadah dan penindasan terhadap hak sebagian warga negara. 

Apapun alasannya, semua bentuk diskriminasi agama harus disudahi. Berbagai identitas potensial menimbulkan diskriminatif juga perlu dihapuskan, seperti kolom agama pada KTP, dll; keempat, posisi tidak berteologi mengharuskan negara tidak menerapkan otoritas in sacra dengan menganggap berhak menentukan pandangan religius penganut agama tertentu. Negara boleh mencampuri urusan agama sebatas circa sacra (hal-hal lahiriah agama: ijin bangunan, dll). Artinya, jika terjadi beda tafsir agama, penguasa dilarang hadir dengan semangat fanatisme: ikut menentukan tafsiran mana yang paling benar. Mengutip Meeter (1939), “Itu bukan domain negara.”