Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pancasila. Tampilkan semua postingan

21 Desember 2011

Kekayaan: Antara Hak dan Pengendalian Diri

Gambar 1: Orang kaya Indonesia

Ketimpangan kepemilikan kekayaan masyarakat Indonesia sungguhlah mencolok. Di tengah kemiskinan akut, segelintir pengusaha—juga sebagian politisi di DPR—hidup dalam kemewahan. Miliaran dollar Amerika Serikat (AS) ada di kantong pribadi mereka. Bahkan, sebagian di antaranya mendapatkan kekayaan dari hasil bisnis “racun” yang dilegalkan: rokok!

Majalah Forbes (edisi 23/11/2011) menempatkan Budi Hartono dan Michael Hartono sebagai orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$14 miliar (sekitar Rp124 triliun). Yang kalau dirata-rata penghasilan pemilik PT. Djarum itu per hari adalah Rp345 miliar. Peringkat kedua adalah bos PT. Gudang Garam (US$10 miliar, sekitar Rp91 triliun). Kekayaan Susilo Wonowijoyo mengalami kenaikan Rp1,3 triliun dari tahun 2010.

Peringkat berikutnya (ke-9) adalah Putera Sampoerna dengan total kekayaan US$2,4 miliar. Dan Aburizal Bakrie berada pada posisi ke-30 dengan total kekayaan US$890 juta. Selain empat pengusaha ini, masih ada 36 pengusaha dengan kekayaan ratusan juta dollar AS. Paling rendah, di urutan ke-40 yakni US$630 juta.

Pada referensi etis benar-salah (etika deotologis), tentu menikmati hasil jerih lelah sendiri tidaklah salah. Persoalan kita adalah, ukuran etis suatu tindakan tidak melulu diukur melalui benar-salah. Menurut ahli etika Eka Darmaputera (2001), ada ukuran lain, yakni tepat-tidak tepat: etika kepantasan (pantas-tidak pantas) atau etika kontekstual.

Karena kontekstual, maka tentu sifatnya relatif. Artinya, ukuran kepantasan tindakan kita diukur oleh realitas kehidupan (sosial) di sekitar kita. Bagaimana dengan konteks masyarakat Indonesia—tempat di mana tindakan etis (memiliki dan menikmati kekayaan) ini diambil?

Menurut Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Media Indonesia, 30/11/2011), rata-rata penghasilan orang Indonesia hanya Rp85.000/hari. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan jumlah penduduk miskin dengan pendapatan US$1 per hari, di Indonesia hingga Maret 2011 tercatat 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Tetapi jika menggunakan standar Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pendapatan US$2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59 persen. Itu artinya, ada setengah dari jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan US$2 per hari.

Selain itu, potret hidup mayoritas masyarakat melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011 juga masih buruk. Posisi Indonesia melorot dari peringkat ke-111 dari 182 negara menjadi ke-124 dari 187 negara. IPM mengklarifikasi kualitas hidup rakyat suatu negara melalui tiga indikator sebagai ukuran, yaitu kualitas dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Kepemilikan kekayaan beberapa pengusaha di atas nampaknya menjadi ironi sosial, akhirnya menjadi tidak etis. Ini tidak berlebihan, mengingat kualitas hidup mayoritas masyarakat Indonesia (konteks kita) masih jauh dari kehidupan yang pantas. Berbeda jauh dibandingkan dengan apa yang dimiliki dan dinikmati oleh para pengusaha itu.

Bung Hatta: kepemilikan berfungsi sosial
Muhammad Hatta, salah satu proklamator, bukan saja memiliki gagasan cemerlang soal ekonomi yang berkeadilan (sosialisme religius), bahkan Bung Hatta—panggilan lain Muhammad Hatta—sendiri secara konsisten adalah orang yang menjalankan idealisme itu.

Hidup sederhana, berkecukupan, dan tidak berlebihan adalah praktek yang kita temui dalam keseharian hidup Bung Hatta. Padahal, bukan saja Bung Hatta, tetapi hampir sebagian besar para pendiri bangsa ini, memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Mereka mempunyai hak untuk kaya, namun bedanya mereka enggan menggunakan hak itu. Mampu mengendalikan tawaran hidup berkelimpahan, mereka sanggup menahan diri untuk tidak hidup mewah, serta enggan untuk bergelimpanggan harta.

Gambar 2: Bung Hatta dan sepatu BALLY

Hidup serta pemikiran Bung Hatta itu tercermin dari cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia merdeka yang digagasnya. Bagi Bung Hatta, nilai-nilai Pancasila sejatinya tepat dan seharusnya mendasari tatanan kehidupan bangsa ini, termasuk dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial. Nilai-nilai Pancasila macam apa itu?

Secara umum, pemikiran ekonomi Bung Hatta mengarah pada bagaimana menegakan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Dan untuk mencapai itu, menurut Bung Hatta, harus ada jiwa dan semangat tolong-menolong antarwarga masyarakat (Anwar Abbas, 2010).

Kata lain, ekonomi negara ini hendak dibangun di atas dasar kebersamaan yang mengandalkan sikap gotong-royong, saling tolong-menolong dan ber-ukhuwah mengutaman kerja sama (cooperation), bukan mengandalkan persaingan (free competition). Itulah mengapa bunyi Pasal 33 UUD 1945, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama (bukan individu: monopoli) berdasar atas asas kekeluargaan.”

Selain itu, bagi Bung Hatta, pembangunan yang ada juga haruslah diorientasikan pada; adanya etik dan moral agama, bukan materialisme (Ketuhanan Yang Maha Esa); tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi manusia (kemanusiaan yang adil dan beradab); kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patrotisme ekonomi (Persatuan); mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak (Karakyatan); serta persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang (keadilan sosial).

Prinsip ekonomi Pancasila, yang kemudian dikenal sengan sosialis religius ini, adalah bentuk penolakan Bung Hatta terhadap dua gagasan besar ekonomi di kala itu: kapitalisme dan sosialisme marxisme. Dua gagasan ini ditolak, sebab keduanya dinilai “sekuler” dan sama-sama mendewakan individu (anthropocenrism).

Walau demikian, bukan berarti di negeri ini memiliki kekayaan adalah pelanggaran. Bagi Bung Hatta, kekayaan individu tetap bisa ada, namun haruslah berfungsi sosial. Bahwa “semua orang boleh mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Miliknya itu dijamin, tidak boleh dirampas dengan semena-mena. Tetapi jika hak miliknya tidak dipergunakan untuk kepentingan umum sedangkan masyarakat menghendakinya, pemerintah berhak menggunakannya untuk itu” (Ekonomi Terpimpin, 1979).

Artinya, kepemilikan terhadap harta benda adalah hak yang dilindungi oleh negara. Setiap individu yang ada di negeri ini boleh memiliki kekayaan sesuai dengan kapasitas ekonominya. Namun, itu tidak berarti kekayaan yang dimiliki bisa digunakan melulu demi kepentingan pribadi. Kepemilikan itu tidak bersifat absolut, sehingga haruslah berfungsi sosial: dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat luas.

Pengendalian diri
Selain itu, jelas terlihat bahwa semangat Pancasila menempatkan pengendalian diri sebagai hal yang penting. Pengendalian diri macam apakah pada konteks kepemilikan ini?

Gambar 3: Semua untuk semua
Acap kali atas nama hak, kita mengambil keuntungan dan miliki kekayaan berlebih, lalu melakukan pembenaran terhadapnya melalui kegiatan bantuan sosial: berbagi sedikit keuntungan. Kita sesekali membagikan keuntungan kepada mereka yang dianggap membutuhkan. Itu pun tidak seberapa jumlahnya dibandingkan dengan hasil yang kita dapatkan. Tindakan ini tidak salah, namun praktek demikian tidak membuktikan kita berhasil mengendalikan diri.

Berbagi sedekah bukan pula bentuk pengendalian diri yang sesungguhnya. Pengendalian diri yang dimaksud harus tercermin dalam tindakan lain, bahkan lebih mendasar, yakni menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan yang terlalu banyak, walaupun kemampuan untuk itu dimungkinkan.

Secara sederhana, wujud pengendalian itu bisa dijelaskan seperti ini: ada seorang (warga negara) yang berbisnis dan (kalau mau) mampu mengambil keuntungan hingga 100 milliar, tetapi dia tidak mengambil semua potensi keuntungan itu. Dengan sadar Ia menyisihkan 90 milliar (sisanya misalkan) bagi yang lain. Dia tidak mengambil seluruhnya (100 miliar itu) karena sadar bahwa ada saudara-saudara lainnya yang juga membutuhan. Dia melakukan itu supaya orang lain bisa ikut bekerja mendapatkan dan menikmati. Bukan karena hukum yang melarang, bukan pula karena aturan yang memaksanya, tetapi semata-mata tindakan itu ia lakukan karena ada referensi moralitas yang menuntun dan mengendalikannya dalam bertindak.

Dari sisi etis benar-salah (etika deotologis), seseorang mengambil keuntungan, memiliki, dan menikmati kekayaan dalam jumlah tertentu adalah benar. Namun di saat yang sama, referensi etis pula (etika kontekstual: kepantasan) serta pengendalian diri agar tidak tamak, akan menuntun kita menjadi tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan bahkan menimbun kekayaan.

Tidak mengambil keuntungan berlebihan, walau kita dibolehkan bahkan memiliki kesempatan adalah sikap yang tidak mudah dilakukan. Kita akan dianggap payah dan bodoh oleh sebagian orang. Tapi percayalah, dengan sikap demikian keadilan sosial masyarakat itu bisa dicapai. Bahkan, sesungguhnya mengendalikan diri seperti ini adalah cerminan dari asas kekeluargaan serta religiusitas prinsip Ekonomi Pancasila kita.


Sumber gambar:
1. http://www.hariansumutpos.com/2011/11/19864/menkeu-kejar-pajak-orang-kaya.htm
2. http://ervakurniawan.wordpress.com/2011/10/07/bung-hatta-dan-kisah-sepatu-bally/
3. http://anisa-mardatillah.blogspot.com/2011/04/kewirausahaan-sosial.html

4 Juni 2011

Pancasila: Samudera Berbagai Gagasan

Gambar 1: Seminar tentang Pancasila
Mereka yang berpandangan ini atau itu, atau yang cenderung memiliki cara pandang etis benar-salah (deotologis) dijamin sulit memahami posisi unik Pancasila: tertutup—sebagai ideologi—sekaligus terbuka (inklusif) dalam penafsiran.

Dalam sejarah, adalah aneh kalau sebuah ideologi—yang umumnya pasti tertutup bisa menyebut dirinya sebagai terbuka. Apalagi, kalau Pancasila dikatakan sebagai mangkok bagi beragam pikir yang mungkin ada. Ini juga kian membingungkan bagi sebagian orang. 

Bagi mereka, ideologi haruslah tertutup, dalam artian menolak yang lain. Kalau tidak memilih pemikiran tertutup (A), ya, berarti harus bersifat terbuka (B). Tidak ada pilihan lain di luar A dan atau B, selain tertutup atau terbuka. Cara pikir ini, umum adalah bagian dari pola masyarakat Barat yang bersifat tegas. Ini bukanlah cara pikir dominan masyarakat Timur, khususnya Indonesia. 

Sebagai ideologi titik tengah, yang merupakan hasil dialektika antara berbagai gagasan dan pandangan, Pancasila tidak mungkin diklaim sebagai identik dengan satu pandangan tertentu. Pancasila adalah saripati dari berbagai-bagai gagasan, baik yang sudah, yang pernah ada. Ini dimungkinkan, sebab Pancasila lahir dari pola pikir etis ketimuran, yakni kemanfaatan (teleologis) dan ketepatan (kontekstual).

Dua pendekatan etis ini (teleologis dan kontekstual) kemudian melahirkan sikap pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu. Mereka yang menggunakan pendekatan pikir ini, cenderung akan nampak lebih ramah terhadap yang berbeda. Bahkan yang berbeda itu bisa diolahnya menjadi sumber lahirnya gagasan-gagasan baru. Itu sebab, adalah mustahil jika kita hendak menyamakan Pancasila dengan satu ideologi tertentu.

Pada perumusan dasar negara, pada rapat BPUPKI 29 Mei sampai 1 Juni 1945, Indonesia Baru memang dihadapkan (setidaknya) pada dua pilihan pemikiran besar sebagai landasan pijakan bernegara kelak: negara agama atau negara sekuler (agama dilarang di ruang publik).

Para Pendiri Bangsa yang berpandangan baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu, atau “tidak menerima sepenuh-penuhnya dan tidak menolak sepenuh-penuhnya sesuatu itu”, pun akhirnya berhasil merumuskan dasar negara kita. Andai waktu itu Bapa Bangsa kita didominasi pola pikir ala-Barat, yakni harus ini atau itu, maka Indonesia Kemasan Baru dijamin tidak akan pernah ada!

Cara pikir yang lahirkan Pancasila
Memahami Pancasila, sebenarnya tidak sebatas dalam soal-soal bagaimana menafsirkannya. Hal penting lain yang harus dipahami, dan ini perlu kita pegang, adalah cara pikir dialektika yang melahirkan Pancasila itu.

Pancasila lahir dari semangat adaptasi ataupun semangat menyerap, tanpa menolak sepenuh-penuhnya, dan di saat yang sama tidak menerima sepenuh-penuhnya terhadap sesuatu gagasan tertentu itu. Cara pikir memperkaya diri ini telah secara cerdas menjadi cara yang ampuh dalam menyelesaikan suatu konflik. Cara pikir inilah yang harus kita teruskan.

Peran cara pikir ini juga sangat nyata tatkala perumusan dasar negara Indonesia Baru. Ir. Soekarno dengan cara pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu berhasil menuntun beragam pikir yang berkembang pada waktu itu ke dalam satu titik di mana secara keseluruhan, semua peserta rapat BPUPKI, termasuk anggota PPKI bisa menerimanya.

Hal penting ini—cara pikir unik yang melahirkan Pancasila—terlampau penting untuk kita, sebagai generasi penerus bangsa yang majemuk mengabaikannya. Memahami cara pikir ini, akan mendorong kita menjadi manusia-manusia yang humanis, menghargai manusia lain dengan sebaik-baiknya. Kita akan diarahkan menjadi orang-orang yang lebih ramah dan bisa mengembangkan sikap menerima dan mengakui keberadaan mereka yang berbeda sebagai suatu keniscayaan. Dan ini adalah sikap terpenting bagi kita untuk dirawat sebagai modal sosial dalam membangun negeri ini.

Mengabaikan cara pikir ini, sama dengan penyangkalan terhadap keindonesiaan yang beragam, juga di saat yang sama akan merusak tatanan kehidupan sosial berbangsa kita.

Gambar 2: Pancasila kita
Cara pandang baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu, sesungguhnya mengakui kompleksnya identitas manusia itu. Adalah fakta bahwa di dalam gagasan yang nampak baik dan paling benar sekali pun pasti memiliki kelemahan-kelemahan, yang masih perlu terus diperbaiki. Dalam gagasan yang nampak buruk sekali pun tetap ada hal baik dan benar yang bisa ditemui darinya, sedikit-banyak tetap ada hal yang pasti bermanfaat yang bisa diambil.

Tentu hanya melalui cara pandang unik itulah, kita bisa membuka diri untuk melihat fakta-fakta keterbatasan manusia. Adalah mustahil bagi seorang yang berpikir hitam-putih (yang hanya membagi realitas dalam dua identitas: benar-salah) bisa memiliki sikap terbuka seperti ini. Baginya, di dalam putih tidak akan ada hitam, dan sebaliknya. Cara pikir ini adalah arogan, dan sombong. Manusia dalam dirinya adalah terbatas, juga cenderung bengkok, maka adalah keliru kalau-kalau manusia lantas mengidentikan dirinya sebagai benar, tanpa ada yang salah sedikit pun.

Cara pandang unik ini dengan sendirinya juga menolak arogansi atau pun superioritas konsep yang kerap diwacanakan oleh kaum intelek murahan. Mereka yang suka mengklaim memiliki gagasan terbenar dan terbaik adalah mereka-mereka yang lupa diri bahwa otaknya adalah ciptaan, yang terbatas, bahkan cenderung bersikap ‘bengkok’ atau sudah terpolusi.

Adopsi cara pikir itu
Pancasila memang kaya dengan gagasan besar. Mulai dari sila pertama hingga kelima, berisi cara padang hidup, yang menurut Yudi Latif, melampaui pemikir-pemikir di abad ini sekalipun. Relevansi dari makna dan nilai dalam Pancasila ini hanya membuktikan bahwa cara pikir dialektika, dengan menyerap hal-hal baik dari suatu hal (gagasan) tertentu—apa pun gagasan itu—adalah ampuh dan adalah kerugian andai generasi Indonesia hari ini maupun yang akan datang secara sengaja mengabaikannya.

Kita mesti memegang dan secara sadar terus menerapkan cara pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan dalam hari-hari kita. Apalagi, tantangan terhadap dasar negara ini di hari-hari yang akan datang tentu kian berat, sebab generasi baru—yang bukan perumus Pancasila—sangat mungkin akan mempertanyakan relevansi Pancasila buat mereka. Bahkan, sangat terbuka kemungkinan hadirnya gagasan-gagasan baru yang bisa dianggap lebih tepat ketimbang Pancasila. 

Cara berpikir dialektika ini—menghargai dan mampu menyerap hal-hal baik dari keperbedaan secara luas yang mungkin ada—akan menolong kita dalam menghadapi gagasan-gagasan baru yang mungkin akan muncul, tanpa perlu mengubah Pancasila itu sendiri.

Menurut Eka Darmaputera, bahwa Pancasila tentu memiliki kelemahan-kelemahan. Tetapi, walau mengatakan demikian, itu tidak mengharuskan kita perlu mengubah Pancasila. Sebagai gagasan warisan manusia yang terbatas, Pancasila juga bisa salah, bisa juga tidak relevan, dan bisa juga suatu saat harus diganti. Mengatakan ini terlihat mudah, namun untuk sampai pada keputusan mengganti tentu bukanlah hal mudah, kita memerlukan alasan-alasan super rasional untuk itu. 

Penulis sendiri berpendapat bahwa Pancasila bukanlah barang suci anti kritik. Pancasila tetaplah sesuatu yang dalam dirinya pasti memiliki keterbatasan-keterbatasan, sebagai konsekuensi Pancasila lahir dari para perumus yang juga bisa lapar dan bisa salah. Hanya, Pancasila juga tidak harus dan tidak selalu perlu diubah.

Kalaupun ada keinginan mengubah, maka pertanyaan yang harus dijawab adalah, apakah usulan perubahan itu adalah sesuatu yang sungguh-sungguh baru, tidak bisa diakomodir dalam Pancasila. Selama hasil penafsiran terhadap Pancasila masih bisa mengakomodir substansi gagasan perubahan yang diusulkan, selama itu pula adalah hal yang terlalu mahal jika kita harus mengubah atau pun mengganti Pancasila. 

Apalagi, natur Pancasila secara nyata menegaskan dirinya sebagai ideologi terbuka. Itu artinya, Pancasila adalah wadah bagi gagasan-gagasan, sekaligus di saat yang sama, Pancasila juga tidak pada posisi akan menolak dan atau menerima sesuatu itu secara ‘bulat-bulat’, asal dan sepihak. 

Pancasila adalah samudera—tempat bertemunya berbagai aliran pemikiran—bagi beragam gagasan. Maka bukan saja menerima, Pancasila justru akan diperkaya dan memperkaya gagasan-gagasan baru itu. Karenanya, daripada kita habis waktu karena hendak mengganti Pancasila, akan lebih tepat kalau waktu itu kita gunakan untuk merawat dan memelihara 'samudera' milik bersama ini. Selamat Hari Lahir Pancasila 2011.

Sumber gambar: 
1. http://www.antarafoto.com/peristiwa/v1306936505/peringatan-kelahiran-pancasila
2. http://www.pelitaonline.com/read/politik/nasional/16/4844/pancasila-dinilai-gagal-sebagai-ideologi-negara/

15 Mei 2011

Tanpa Pancasila, Kita Bukan Indonesia

Gambar 1: Pancasila

Tanpa (ideologi) Pancasila, kita bukan Indonesia. Pernyataan ini tidaklah berlebihan, malahan wajar sebagai pengakuan. Pun, tidak pula sedang menempatkan Pancasila sebagai barang suci—harga mati—yang menegasikan keberadaan paham (ideologi) lain, justru sebaliknya, itu sebab disebut paham yang inklusif.

Sebagai ideologi terbuka (inklusif), mau tidak mau, Pancasila pada titik tertentu diharuskan menerima dan menghargai keberadaan paham yang bersifat ekslusif. Tanpa penerimaan ini, sifat inklusif Pancasila akan berubah menjadi ekslusif dalam dirinya; klaim Pancasila sebagai paham yang inklusif pun luntur dengan sendirinya.

Sebagai orang Indonesia yang mengaku berpaham Pancasila (Pancasilais), kita pun mesti legowo mengakui, bahkan menjadi keharusan menerima mereka yang berpaham ekslusif. Kita wajib menghargai keberadaan mereka yang menolak Pancasila atau mereka yang ingin mendirikan negara ini di atas ideologi selain Pancasila.

Tanpa praktek ini, klaim sikap inklusif kita adalah kebohongan, bertopeng inklusif semu. Sebab sikap inklusif kita rupa-rupanya bersifat diskriminatif pula: menolak mereka yang kita pandang berbeda atau dalam hal ini mereka yang menolak sikap inklusif. Andai ini yang terjadi, maka kita otomatis gagal menjadi seorang berpaham terbuka atau gagal menjadi seorang Pancasilais.

Inilah posisi, makna strategis, sekaligus ciri khas dari praktek sikap ber-Pancasila. Keluar dari pemahaman penting, bahkan mendasar ini, Indonesia pastilah bubar. Pun, kita bukanlah Indonesia.

Di konteks inilah letak kegagalan pemerintahan Orde Baru (Orba) dalam memaknai Pancasila. Rezim Soeharto melakukan kesalahan besar karena memaksa rakyat Indonesia menerima pola pikir tunggal dalam menafsirkan, memahami, dan mengamalkan arti ber-Pancasila. Akhirnya, di saat yang sama, niat baik ingin menjadikan Pancasila sebagai ideologi terbuka, berubah menjadi paham yang tertutup: ekslusif.

Pancasila: jalan tengah
Sejak awal kemerdekaan, perbedaan pikir kaitan ideologi bangsa juga sempat menghambat para Bapa Bangsa menuju kata sepakat. Ada di antara mereka yang menginginkan Indonesia menjadi negara berbasiskan agama tertentu sebagai ideologi, namun ada yang berharap negeri ini menjadi negara sekuler: memisahkan secara radikal antara agama dengan negara. Pertarungan ide di antara mereka pun berjalan alot, masing-masing memiliki landasan pikir, serta alasan yang sama-sama rasional. Mereka “terpecah” menjadi dua kelompok, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agamis.

Setelah dua penceramah, yakni Prof. Muhammad Yamin, S.H pada 29 Mei 1945 dan Prof. Dr. Soepomo pada 31 Mei 1945, berbagi pemikiran kaitan dasar negara pada sidang resmi pertama (28 Mei hingga 1 Juni 1945) Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sampailah kesempatan bagi Ir. Soekarno mengutarakan pendapatnya.

Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 itu mendapat sambutan hangat dan meriah dari anggota rapat BPUPKI. Ini amat berbeda dengan respon anggota rapat terhadap dua pandangan lain yang dikemukakan sebelumnya.

Fakta ini membuktikan, bahwa ketegangan yang muncul di antara dua pemikiran ekstrim—golongan Nasionalis Agamis di wakili oleh Muh. Yamin dan golongan Nasionalis Sekuler diwakili Soepomo—mendapatkan titik temu dalam buah pikir atau pendekatan Sang Presiden Pertama Republik Indonesia ini, Soekarno.

Akhirnya, walau dipenuhi berbagai dinamika dan diskursus dalam rapat-rapat BUPKI, termasuk dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)—yang tentu tidak sederhana, namun rumit—usulan beberapa sila oleh Soekarno, yang kemudian dikenal sebagai Pancasila itu disepakati sebagai ideologi kebangsaan kita, seturut disahkannya Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, Susunan Pemerintahan, dan pengesahan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar tanggal 18 Agustus 1945.

Gambar 2: Rapat BPUPKI 18 Agustus 1945
Perjalanan panjang Pancasila sebagai ideologi juga tidak bersih dari tantangan. Sebagai kesepakatan tengah atau jalan tengah di antara dua ekstrim pemikiran, Pancasila jelas berada dalam posisi yang diselimuti berbagai ketegangan. Bahkan, nampaknya ketegangan yang pernah dialami para Pendiri Bangsa waktu itu juga terwariskan hingga hari ini.

Kita tak menutup mata, bahwa ada sebagian anak bangsa hari ini, atas nama berbeda ideologi, masih menolak Pancasila sebagai dasar bernegara. Bahkan, mereka dengan berani bersuara di ruang publik menyatakan sikap penolakannya itu. Mereka ingin negara dengan bermacam agama (keyakinan), suku, dan keragaman lainnya ini berubah menjadi negara berideologi agama. Keinginan ini wajar, walau mestinya tak perlu lagi terjadi, andai natur manusia Indonesia dan sejarah bangsa ini dipahami secara seksama.

Sebagai bentuk keprihatinan terhadap situasi bangsa itulah, dua Tajuk Rencana Kompas, mengangkat tema “Perlunya Solidaritas Bersama (25/04/2011) dan Komitmen terhadap Pancasila (26/04/2001). Kehadiran dua tajuk ini sebagai respon terhadap situasi bangsa Indonesia hari-hari ini. Kompas, melalui tajuknya ini, turut menyuarakan kegelisahan yang dirasa publik. Masyarakat kita kian resah sebab hidup di bawah bayang-bayang bermacam ancaman perpecahan, termasuk ketidakpastian hukum. Pun, Kompas mendorong agar komitmen terhadap Pancasila perlu disuarakan kembali.

Anak bangsa ini mesti terus disadarkan bahwa Pancasila adalah pilihan terbaik, di antara pilihan ideologi lain yang dimungkinkan. “Banyak sudah analisis mendalam tentang Pancasila. Semua bermuara memperkuat, memperyakin, dan menegaskan tentang pilihan Pancasila sebagai ideologi negara”, demikian ungkap Kompas dalam tajuk rencana 26 April ini.

Selain itu, melalui tajuk rencana sebelumnya (25/04), Kompas juga mengajak agar semua elemen bangsa ini membangun solidaritas bersama menghadapi beragam masalah teroris atau radikalisme di Indonesia. Tokoh agama, para pendidik, keluarga, pimpinan ormas, tokoh politik, masyarakat luas, dan aparat keamanan harus saling membahu dan bekerja sama dalam mengantisipasi beragam potensi penyimpangan yang bermuara pada gangguan keamanan. Kebersamaan ini tentu akan membantu kita dalam menyelesaikan berbagai masalah. Pancasila sebagai pilihan berideologi juga akan mendapatkan relevansinya.

Kedua ajakan ini kian penting, mengingat situasi politik dan keamanan kita saat ini yang semakin tidak menentu. Semangat bernegara (berpolitik) dengan basis nilai-nilai Pancasila kian dilupakan, suburnya perilaku menyimpang elit negeri (korupsi, berbagi skandal keuangan dan seks, elit yang bebal pikir serta minus kepekaan dalam kebijakan membangun gedung DPR yang super mewah, dst), termasuk munculnya berbagai gerakan radikalisme—kasus kekerasan atas nama agama (kekerasan terhadap Ahmadiyah), munculnya kasus pencucian otak yang diduga oleh gerakan Negara Islam Indonesia (NII)—adalah sederet konteks yang jelas merisaukan dan merongrong keberadaan Pancasila.

Dengan demikian, semakin penting bagi kita agar segera menilik kembali sejarah untuk mempertebal pemahaman kita kaitan ideologi Pancasila ini. Bukan untuk dihafal, bukan agar dipakai sebagai sarana menghakimi ide anak bangsa lainnya, tetapi yang terpenting adalah demi penafsiran dan pemaknaan ulang, serta untuk diterapkan secara konsisten dalam kehidupan pribadi dan relasi sosial berbangsa kita. Tanpa kita melakukan gerakan ini secara sadar, sengaja, dan baik, maka sebagai bangsa, Indonesia akan kian kehilangan jati dirinya; bangsa ini pun akan semakin cepat menuju kerapuhan berujung perpecahan.

Budaya pikir memahami Pancasila
Kaitan konteks menggali itulah, tulisan semi-panjang ini hendak bersumbang saran. Besar harapan catatan hasil bacaan ini, bisa memberikan secuil lubang intip kaitan konteks ber-Pancasila.

Pancasila adalah buah pikir yang tidak lahir di ruang kosong. Ada konteks yang menyelimuti pembentukannya. Bukan hanya konteks waktu itu (dekat), namun konteks jauh (sejarah budaya pikir manusia Indonesia) juga ikut andil membentuknya. Seperti dikatakan Ir. Soekarno dalam sesi pidatonya tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang BPUPKI (Dokuritzu Junbi Cosukai), “Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun daku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu.” (Lahirnya Pancasila: Kumpulan Pidato BPUPKI, 2006).

Pun bahwa Pancasila itu bukanlah hasil pikir sesaat bahkan milik Soekarno semata pernah ditegaskan kembali olehnya dalam pidato pengukuhan gelar doktor kehormatan dari Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta, 19 September 1951. “….Pancasila itu, bukanlah jasa saya, oleh karena saya, dalam hal Pancasila itu, sekedarlah menjadi “perumus” daripada perasaan-perasaan yang telah lama terkandung bisu dalam kalbu rakyat Indonesia—sekedar menjadi “pengutara” daripada keinginan-keinginan dan isi jiwa bangsa Indonesia turun-temurun….Pancasila itu telah lama tergurat pada jiwa bangsa Indonesia. Saya menggangap Pancasila itu corak karakter bangsa Indonesia.” (Soediman Kartohadiprodjo, 1976). Itu artinya, pemahaman yang terkristal dalam lima sila yang dikemukakan Soekarno adalah buah dari perenungannya terhadap konteks luas di mana Soekarno hidup, yakni corak hidup dan pikir masyarakat Nusantara.

Eka Darmaputera (1997) menelusuri kaitan konteks luas yang memengaruhi buah pemikiran dari Soekarno itu. Dalam ringkasan disertasinya di Boston College, Amerika Serikat (1982), yang berjudul Pancasila: Identitas dan Modernitas (Tinjauan Etis dan Budaya), Eka berpendapat bahwa kita tidak bisa memahami Pancasila (bentuk dan sejarah pembentukannya) dalam kerangka pikir etis budaya masyarakat Barat: ini atau itu. Kita mesti memahaminya dalam konteks pikir orang Indonesia sendiri: bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu.

Di sinilah, kemudian Eka coba menelusuri dan mengangkat sesuatu yang disebut cara pikir orang Indonesia itu. Dalam penelitian disertasinya, sampel yang diteliti oleh Eka adalah kebiasaan yang hidup di kalangan masyarakat Jawa. Eka menganalisis beberapa tradisi; utamanya Mitologi Wayang, Ritus Slametan, serta Etika Kesatuan, Keseimbangan dan Keserasian—yang dinilai mewakili atau cukup memberikan gambarkan mengenai cara pikir itu.

Dari analisis budaya ini, Eka lantas mengambil beberapa kesimpulan etis mengenai cara pandang unik yang dimiliki oleh orang Indonesia—dalam hal ini masyarakat dan budaya Jawa sebagai sampelnya. Secara singkat demikian:  Pertama, sikap masyarakat Jawa terhadap hidup adalah tidak terarah kepada hidup ini, namun tidak sepenuhnya terarah ke luar hidup ini. Kedua, sikap terhadap kerja. Karena berpandangan bukan ini-bukan itu, maka dalam soal kerjapun orang Indonesia lebih santai: Aja ngoyo!

Ketiga, sikap terhadap waktu. Aja kesusu! Kalau bagi budaya barat waktu adalah uang, dan (walau) lambat asal pasti (slow but sure), maka bagi orang Indonesia uang bukanlah hal utama, termasuk “alon-alon waton kelakon” (perlahan-perlahan asalkan selamat). Kalau tekanan budaya barat pada kata pasti, maka tekanan orang Indonesia pada kata alon-alon.
Gambar 3: Indonesia kita

Keempat sikap terhadap alam. Orang Indonesia cenderung melihat manusia dan alam sebagai subyek yang setaraf, saling terhubung dan saling tergantung. Oleh karena itu, keduanya harus berada dalam keserasian dan keselarasan; bukan untuk disembah, bukan pula untuk dieksploitasi. 

Kelima, sikap terhadap sesama. Ada dua bentuk dasar pengaturan bentuk hubungan antara individu dalam masyarakat. Yang satu adalah kolektivisme dan yang lain adalah individualisme. Di dalam masyarakat yang kolektiv, individu-individu, anggotanya ada, bekerja, hidup (dan mati) untuk kepentingan seluruh masyarakat, sementara di dalam masyarakat yang individualistis, seluruh masyarakat yang ada dan melakukan segala sesuatu yang mungkin untuk kesejahteraan individu-individu anggotanya.

Di dalam masyarakat yang kolektivistis, individu-individu anggotanya dilahirkan di dalam masyarakat, sedang di dalam masyarakat yang individualistis, individu-individu anggotanya membentuk masyarakat. 

Cara pandang masyarakat Indonesia, menurut Eka, lebih condong kepada pola pikir kolektivisme. Hal ini terlihat nyata dalam relasi antar individu dalam masyarakat. Seseorang yang terlalu mengekspresikan perasaan dianggap kasar, terlalu ambisius juga dipandang sebagai keburukan. Prestasi pribadi juga tidak terlalu ditonjolkan, oleh karena dianggap sombong.

Memahami keunikan dan budaya pikir masyarakat Indonesia di atas akan menolong kita dalam memahami Pancasila. Apalagi, pola pikir unik itulah yang mengiringi Pendiri Bangsa kita dalam menentukan pilihan mengapa berideologi Pancasila. Andai pun ada yang mesti dibanggakan dari Indonesia, dan inilah yang menentukan keindonesiaan kita, salah satunya adalah pola pikir unik ini!

Pemikiran budaya masyarakat Barat ini (ini atau itu), umum dikenal sebagai pendekatan etis benar-salah (deotologis), cenderung bersifat tegas. Pendekatan ini juga dekat dengan budaya masyarakat yang menekankan rasio, sebab tegas membutuhkan kepastian; harus terukur. Masyarakat Barat cenderung bersikap kalau tidak ini pasti itu atau kalau tidak itu pasti ini. Mereka juga didominasi pola hitam-putih. 

Berbeda dengan pola pikir dominan masyarakat yang ada di Indonesia, dan dunia belahan timur pada umumnya. Di kita—sesuai sampel dalam disertasi Eka—pendekatan teleologis dan kontekstual yang dominan. Bahwa di dalam yang hitam pasti ada putih, dan di dalam yang putih juga tetap ada hitam. Dalam praksis pandangan ini, terkadang sesuatu hal (ide) itu tidak diterima sepenuhnya, pun tidak ditolak sepenuh-penuhnya. Prinsip bukan ini-bukan dan baik ini-baik itu yang berlaku. Jadi selain pendekatan etis benar-salah, ada dua pendekatan lain yakni yang menekankan pada soal baik atau bermanfaat (teleologis) dan tepat (kontekstual) sebagai ukuran dalam mengambil keputusan etis. 

Sebagian orang mungkin menilai dua pendekatan ini tidaklah menarik. Tetapi, sungguhnya dua pendekatan etis ini (teleologi dan kontekstual) sangatlah humanis, sebab pengakuan terhadap ketidaksempurnaan manusia begitu nyata. Bahwa di dalam manusia yang nampak sempurna tetap ada kelemahan, pun sebaliknya di dalam manusia yang terlihat jahat sekalipun pasti ada setitik kebaikan. Maka kita perlu melihat dan memahami kedua-duanya secara baik dan menyeluruh; kita tidak boleh mengabaikan sepenuh-penuhnya sesuatu itu.

Bagi manusia Indonesia yang kental dengan pengaruh budaya Hindu India, pandangan hitam-putih cenderung tidak diminati. Umumnya, pemikiran kita didominasi mencari titik seimbang dari dua kutub ekstrim, sehingga lebih suka dengan pendekatan etis kemanfaatan dan ketepatan ini.

Natur berpikir orang Indonesia ini nampak jelas memengaruhi Pendiri Bangsa kita dalam dialektika mencari dasar bersama untuk pendirian negeri ini—selama adu argumen di rapat-rapat BPUPKI dan PPKI.

Seperti sudah dikemukakan di atas, dalam sidang-sidang badan persiapan kemerdekaan Indonesia, Pendiri Bangsa ini berada dalam dua kutub (kelompok) ekstrim pemikiran. Yang satu ingin Indonesia berdasarkan ideologi agama, bahkan kalau bisa presidennya haruslah seorang yang beragama Islam, namun sebagian lain berharap negara merdeka ini bersifat sekuler.

Setelah paparan buah pikir dua ahli sebelumnya dalam rapat BPUPKI (29 Mei dan 31 Mei 1945), yakni Muh. Yamin dan Soepomo, Soekarno pun mendapat giliran pada tanggal 1 Juni 1945. Di sinilah fungsional pola pikir bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu terlihat perannya.

Soekarno berhasil memberikan “angin segar” bagi anggota rapat dengan cara pikir tengah ini. Apresiasi terhadap gagasan tengah Soekarno itu terlihat nyata dari sambutan para hadirin. Kalau pidato Muh. Yamin dan Soepomo tak ada respon tepuk tangan, maka untuk sesi pidato Soekarno ini, ada 19 kali tepuk tangan (respon peserta rapat), bahkan ada keterlibatan aktif—dengan menanggapi langsung apa yang diungkapkan Seokarno—peserta rapat di dalamnya.

Daya tarik cara pikir tengah yang nampak dari respon anggota rapat BPUPKI, kian menunjukan fungsi dan ketepatan pemikiran unik ini. Fakta bahwa pidato Soekarno inilah yang kemudian diterima secara cepat sebagai dasar negara kita, adalah satu bukti bahwa Bapa Bangsa kita merasa dasar pikir inilah yang tepat (kontekstual) dan bermanfaat (teleologis) karena bisa menjadi titik temu atau solusi bagi dua ekstrim (dibaca: konflik) pemikiran.

Pilihan Bapa Bangsa terhadap Pancasila, sebagai hasil jalan tengah, sesungguhnya memiliki akar sejarah. Kajian etis dan budaya oleh Eka membuktikan hal itu, bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam natur pikir orang Indonesia. Bukan hanya budaya pikir tersebut telah menghasilkan Pancasila, tetapi Pancasila sebagai bentuk kristalisasi pemikiran, adalah bentuk lain dari serangkaian cara pikir unik kita itu.

Pancasila dengan pendekatan etis baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu, juga tentu bisa terus menjadi jalan tengah bagi berbagai ragam pemikiran dan ideologi yang akan tumbuh dan dianut oleh anak negeri hari-hari ini, maupun yang akan datang. Pancasila sebagai mangkok (modus vivendi), mengikuti istilah Eka, secara otomatis adalah wadah bagi semua ragam pemikiran-pemikiran itu. Walau demikian, semua pemikiran yang ada juga tidak serta merta bisa menjadi norma umum atau diterima sepenuhnya, maupun ditolak sepenuhnya.

Sebagai mangkok atau paham yang inklusif, Pancasila diposisi memberikan ruang secara arif kepada berbagai ideologi—apapun itu—untuk terlibat di dalam proses dialog (dialektika) yang terus menerus satu dengan yang lainnya. Ini berarti semua macam pemikiran—termasuk fundamentalisme sekalipun—mempunyai tempatnya dalam Pancasila. Pancasila tidak menolak kehadiran pemikiran yang menolak Pancasila (termasuk penganutnya) di Indonesia!

Jadi, tentu adalah keliru kalau Pancasila dikata anti dengan fundamentalisme. Pancasila sebagai payung bagi segala pemikiran tidak menolak fundamentalisme, pun di saat yang sama juga tidak menerima sepenuh-penuhnya fundamentalisme. Ini sebagai konsekuensi pola pikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu.

Setiap hal-hal baik dari ragam pikir yang ada dan berkembang itu—termasuk dalam fundamentalisme—akan larut dalam proses dialektika. Seperti di salah satu bagian pidato Soekarno, bahwa keinginan agar pemikiran ekslusif—apa pun bentuknya itu—diberlakukan secara nasional, dalam bentuk peraturan negara, mesti melalui proses demokrasi musyawarah mufakat di parlemen. Itulah cara adil, sekaligus bentuk penghargaan kita atau Pancasila terhadap setiap pemikiran yang mungkin ada dan dimiliki oleh anak bangsa ini.

Jadi seberapapun jahatnya dan terdengar buruk suatu paham itu, selama masih sebatas pemikiran, Pancasila tetap menghargainya sebagai salah satu kontestan dalam wadah mangkok Pancasila itu. Pemikiran “jahat” itu tetap menjadi salah satu pemain untuk diuji oleh publik di parlemen sebagai ruang sidang yang fair, apakah diterima atau tidak.

Kalau pun tidak diterima, buah pemikiran itu tetap harus dihargai, tidaklah benar jika diberangus, apalagi menggunakan cara-cara kekerasan dan arogan. Ide tidak bisa dihakimi, dan diberangus oleh negara. Ide hanya bisa dilawan dengan ide! Tugas negara adalah menjaga—fungsi negara sebagai penjaga malam—agar beragam pemikiran yang dianut itu, yang barang tentu melahirkan bermacam bentuk praksis pula tidak merugikan kepentingan publik yang lebih luas, juga tidak melanggar hak-hak dasar warga negara, termasuk hukum.

Gambar 4: Bangga dengan Indonesia
Banggalah
Kajian budaya dan etis terhadap Pancasila, oleh Eka telah memberikan gambaran bahwa pendekatan bukan ini-bukan itu dan baik ini-baik itu, sebagai natur berpikir orang Indonesia, telah memberikan sumbangsih penting bagi titik temu dua pemikiran ekstrim di kala ideologi negara ini dirumuskan.

Berdasar pemikiran unik ini pula, Pancasila yang dihasilkan, adalah paham yang mengakui dan tidak menafikan keberadaan ideologi lain. Pancasila menerima hal-hal baik dari konsep negara agama yang diutarakan, juga di saat yang sama mengambil hal-hal positif dari konsep negara sekuler. Pancasila tidak sepenuhnya menolak dan menerima konsep negara agama, juga di saat yang sama Pancasila juga tidak menolak dan menerima sepenuhnya konsep negara sekuler.

Inilah bentuk dari manifestasi keunikan berpikir baik ini-baik itu dan bukan ini-bukan itu! Maka sebagai generasi penerus adalah kurang tepat, kalau ideologi yang bisa menampung beragam pikir ini harus diganti dengan ideologi lain, yang malah cenderung bersifat diskriminatif: bernuansa kepentingan golongan tertentu saja.

Kajian mendalam oleh Eka Darmaputera (1997) juga telah membuktikan bahwa Pancasila memiliki akar budaya dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Itu artinya, mengganti Pancasila adalah bentuk lain dari penyangkalan terhadap natur manusia Indonesia. Kita justru harus berbangga dengan Pancasila, karena ideologi ini lahir sebagai “anak kandung” dari budaya pikir orang Indonesia. Mari terus pahami dan amalkan nilai-nilainya, karena kian jelas tanpa (ber) Pancasila kita bukanlah Indonesia. 


Sumber gambar: 
1. http://pinsalabim.blogspot.com/2011/11/jiwa-nyata-dalam-dunia-maya.html
2. http://barokahbcp.blogspot.com/2010/08/ketuhanan-dengan-kewajiban-menjalankan.html
3. http://indonesia-peta.blogspot.com/
4. http://www.belantaraindonesia.org/2011/07/banggalah-dengan-indonesia.html

7 Januari 2011

Karena Pancasila, Kita Indonesia

"Menjadi diri sendiri”, adalah penyataan umum yang sering kita dengar. Selain itu, ada kata lainnya, yakni “penerimaan diri”. Dua ungkapan ini harus dilakukan, jika seseorang ingin aman dengan diri sendiri, dan mengembangkan potensi diri untuk maju. 

Manusia adalah makhluk yang terlahir tidak sempurna dan berbeda-beda. Itu realitanya: ada keunikan. Ada orang terlahir dengan kualitas suara yang indah nan baik didengar. Ada yang hadir dengan potensi menghitung, menganalisa, memimpin, berkomunikasi, bertekun, dll. Dan ada pula yang terlahir dengan keistimewahan tubuh tertentu. Akan tetapi, realita hidup tidak hanya itu. Ada kondisi sebaliknya yang terjadi. 

Kondisi berbeda ini menjadi masalah tatkala disikapi dengan cara pandang “membandingkan”, dan bukan cara pandang “berbeda atau unik”. Cara pandang membandingkan melahirkan sikap minder bagi yang dikategorikan berkekurangan. Akibatnya, yang dianggap berkekurangan memaksa diri menjadi orang lain yang dinilai lebih baik.

Sayangnya, kita tidak mungkin menjadi orang yang dianggap lebih baik itu. Mungkin sedikit terlihat sama, namun kualitas diri tetaplah berbeda. Sikap ingin menjadi orang lain, berpotensi menjadikan kita manusia tidak bersyukur, disamping menjadi serba tanggung. Tanggung, karena kita tidak memaksimalkan potensi unik pemberian Sang Khalik yang ada dalam diri kita. Kita lebih sibuk, dan dengan rasa iri, mencondongkan diri berkembang seperti orang lain yang kita anggap lebih baik itu.

Kondisi ini—kesalahan menilai—yang melahirkan ketidakpercayaan diri juga dialami oleh negara Indonesia. Miskin identitas, dan minder dengan berbagai ciri kebangsaan adalah situasi yang kini kita tuai. Banyak ciri yang dimiliki bangsa ini telah dibuang, dan atau enggan dikembangkan. Penghuni bangsa Garuda ini lebih suka dengan identitas yang bercirikan hidup bangsa lain. Kita lebih minati cara pikir bangsa seberang ketimbang bergeliat mengembangkan hasil cipta pikir bangsa sendiri. Kita lebih mencintai santapan siap saji dibandingkan nasi pecel ala-Blitar. Dan yang menyolok, kita lebih berbangga jika dinilai memancarkan sesuatu yang berbau luar negeri.

Salah satu identitas dan ciri kebangsaan yang telah ditinggalkan adalah Pancasila. Bangsa ini terlahir dengan kondisi unik dan berbeda dengan bangsa lain. Selain beragam, Pancasila sebagai cara pandang adalah salah satu keunikan itu. Namun, akibat pemakaian cara pandang “membandingkan”, dengan menggangap hasil luar negeri lebih baik, Pancasila dengan nilai-nilai luhurnya kita singkirkan. Konsep hidup berbangsa yang bersedikan nilai luhur Pancasila menjadi sulit kita temukan lagi dalam praksis kehidupan berbangsa. Sistem ekonomi kita, misalnya, bukan lagi bentuk dagang yang dijiwai semangat kekeluargaan.

Semangat bertukar barang itu lebih didominasi semangat kompetisi yang saling menjatuhkan. Sistem politik kita berubah wajah menjadi sistem politik liberal: menekankan semangat individualiastik ketimbang semangat kegotong-royongan dengan unsur keterwakilan—yang didasari ikatan saling percaya. Sistem pendidikan kita juga berubah wajah. Pendidikan bukan lagi milik masyarakat (miskin dan kaya), namun menjadi milik mereka yang berduit: kapitalisme pendidikan

Sekolah tidak lagi tempat yang nyaman, namun adalah area yang menakutkan. Siswa dirudung tekanan tatkala ujian tiba. Selain, sekolah kini juga menjadi area transfer nilai radikalisme yang anti pluralisme. Keluaran hukum (Undang-Undang sampai Peraturan Daerah) juga sarat dengan penyangkalan terhadap sumber hukum utama: Pancasila. Ideologi agama, dan pemikiran kebarat-baratan lebih menjadi acuan dalam pembuatan hukum.

Inilah kondisi yang berkembang. Bangsa Bhineka Tunggal Ika ini mengalami krisis identitas. Corak kebangsaan Indonesia menguap bagai embun. Konsep dasar hidup, baik dalam bidang politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan yang diterapkan saat ini lebih condong pada bentuk sistem yang dulu ditolak oleh para pendiri bangsa ini: sebab bertentangan dengan semangat dan cara pandang hidup masyarakat Nusantara. Mungkinkah kondisi—kegagalan menjadi diri sendiri—ini tercipta karena adanya kegagalan menerima diri sebagai bangsa yang unik? Kemungkinan itu besar.

Pancasila dalam sejarah pernah masuk tahap yang sulit: dimana Pancasila dipolitisasi, dijadikan sapi perah demi kepentingan penguasa. Pancasila diposisikan sebagai penjaga yang tidak bersahabat. Sangat disayangkan, sebab akhirnya sampai hari ini, bagi sebagian kalangan, Pancasila masih diidentikan dengan posisi tidak ramah itu. Pancasila yang seharusnya mengayomi keragaman, justru menjadi anti keragaman.

Kondisi prihatin itu terjadi di zaman Orde Baru. Pemerintah Soeharto memonopoli penafsiran terhadap nilai-nilai luhur Pancasila. Penafsiran Pancasila di luar pemerintah dianggap pembangkan—bahkan sah jikalau sang pembangkan dihilangkan nyawanya. Sikap salah Orde Baru ini adalah nyata, sehingga kondisi traumatis yang ditimbulkan pun tidak bisa kita pungkiri.

Namun demikian, sejarah buruk itu tidak boleh membelenggu kita, akhirnya enggan menerima, dan menghidupkan semangat Pancasila. Nilai keluhuran Pancasila adalah identitas dan ciri kebangsaan kita. Pancasila adalah pribadi dan natur bangsa Indonesia. 

Tanpa Pancasila, kita bukanlah Indonesia. Seperti manusia yang terlahir dengan keunikannya, memiliki keistimewahan tubuh tertentu, atau kebalikannya dari itu, demikian pula dengan bangsa Indonesia. Indonesia terlahir sebagai bangsa unik: yang beragam dengan Pancasila sebagai arahan dan payung bagi tatanan hidup yang tepat.

Pentingnya penerimaan diri berlaku pula bagi bangsa Indonesia. Tanpa penerimaan diri: bahwa Indonesia adalah negara Pancasila; perlunya menerapkan semangat Pancasila dalam berbagai aspek hidup—politik, ekonomi, hukum, dan pendidikan dll—kita akan menjadi bangsa yang serba tanggung dalam membangun.

Indonesia tidak akan maksimal berkembang karena tidak menjadi diri sendiri. Dan ujung semua itu, Indonesia akan menjadi bangsa dan negara yang gagal. Mari kita menolak kegagalan itu. Salam Pancasila!