 |
Gambar: Birokrasi |
Pemerintah Indonesia
telah gagal secara kontekstual mengelola birokrasi. Institusi
itu pun terjerumus dalam beragam masalah kontempoler.
Pertama adalah masalah
obesitas atau kelebihan tenaga birokrat. Menurut Menteri PAN dan RB, Aswar
Abubakar, tercatat Indonesia memiliki 4.708.330 Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Jumlah ini belum termasuk PNS TNI dan PNS Polri. Padahal, Indonesia hanya
membutuhkan sekitar 3 juta PNS.
Itu artinya,
ada 1.7 juta PNS yang tidak diperlukan, namun direkrut. Mereka
tidak memiliki beban kerja tetapi setiap
bulan negara harus membiayainya. Maka, adalah rasional jika hari ini
penghentian penerimaan PNS diberlakukan. Bahkan, bila perlu dan seharusnya,
pemerintah membuka penerimaan kembali ketika memang ada kebutuhan untuk itu.
Kedua, 95 persen PNS
kita adalah birokrat tanpa keahlian khusus dan hanya 5 persen PNS yang memiliki
kompetensi spesifik (Suara Pembaruan,
06/03/2012). Tentu ini menjadi ironi, sebab salah satu ciri birokrasi
adalah adanya pembagian kerja di dalamnya yang didasari oleh kompetensi khusus.
Karena tanpa keahlian itu, tak mungkin seorang birokrat bisa mengambil bagian
(bekerja sama) dalam mencapai tujuan-tujuan bersama melalui birokrasi.
Munculnya
dua masalah di atas menunjukan ada persoalan sistemik, khususnya perekrutan
yang selama ini dilakukan. Penerimaan yang seharunya berdasarkan kebutuhan
kerja serta dengan tuntutan kompetensi tertentu, nampaknya tidak menjadi dasar
utama penerimaan pegawai.
Kecurigaan
kita mengarah pada dua kemungkinan, mengapa penerimaan PNS tidak berjalan
sesuai dasar rasional birokrasi; pertama, karena ketiadaan data yang jelas
mengenai jumlah pegawai serta pembagian tugas untuk mengukur kebutuhan,
akibatnya penerimaan PNS sekadar program rutin tahunan; kedua, adalah akibat
kebijakan politik populis yang dilakukan pejabat di daerah demi menarik
dukungan, sekadar bagi-bagi jabatan kepada koleganya, dan untuk mengurangi
pengangguran.
Selain
masalah di atas, kajian Agus Dwiyanto (2011) juga mengidentifikasi suburnya bentuk birokrasi paternalistik di Indonesia.
Kuat dugaan, munculnya biroktasi tipe ini sebagai konsekuensi interaksi antara konsep birokrasi Weberian dengan budaya
paternalistis yang umum dianut masyarakat Indonesia. Konteks ini pula yang
turut memengaruhi timbulnya beragam patologi birokrasi, termasuk seperti yang
muncul di awal tulisan ini.
Interaksi sosial-budaya & birokrasi
Pada
tataran tertentu, pembicaraan kita tentang birokrasi tidak bisa mengabaikan konteks
sosial-budaya, tempat dimana birokrasi itu berada. Ini tak dihindari, sebab
birokrasi lahir dan berkembang dalam konteks sosial masyarakat tertentu. Dengan
kata lain, dinamika birokratisasi (proses membangun dan mengembangkan
birokrasi) erat kaitannya dengan konteks. Maka, upaya birokratisasi yang
mengabaikan lingkungan sosial, diyakini tidak akan mencapai tujuannya.
Konsep
Weberian—hasil pikir Max Weber—umum dikenal dengan ciri ideal birokrasi: adanya
formalisasi aturan dan prosedur; hirearki
yang panjang; spesialisasi kerja; dan impersonal. Semua prinsip ini hendak
membentuk birokrasi yang efisien, rutin, dan non-partisan. Weber menyakini
bahwa administrasi pemerintahan bisa berjalan memadai jika institusi yang ada
menyerupai kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Untuk mencapai itu diperlukan
meritokrasi, pembagian kerja secara spesifik yang saling terkait dalam satu
hirearki dan prosedur.
Secara
umum, penerapan konsep birokrasi Weberian dianggap berhasil di masyarakat
Barat. Patologi yang ditimbulkan tidak separah yang ada di Indonesia. Keberhasilan
terjadi karena adanya dukungan kultur mereka yang (dominan) rasional; memiliki
demokrasi yang mapan; serta adanya kelompok masyarakat sipil yang kuat (Agus
Dwiyanto, 2011: 63). Bahkan, bisa dikata birokrasi Weberian merupakan hasil
interaksi dan atau anak kandung budaya Barat.
Mengatakan
masyarakat Barat memiliki unsur budaya positif, tidak lantas kita mengurangi
hal-hal buruk yang mereka miliki, pun tidak hendak mengangung-agungkan kultur (baik-buruk)
yang ada di Indonesia. Bukan itu yang ingin diwacanakan. Yang hendak diketengahkan
adalah, bahwa birokrasi Weberian bisa berkembangan dengan baik di Barat karena
memang ada unsur dalam budaya masyarakatnya yang menunjang hal itu. Sebaliknya,
hal ini akan sangat berbeda dengan konteks masyarakat kita.
Indonesia
memiliki beragam kearifan lokal. Ada yang secara relatif (bergantung konteks)
dikata baik maupun dianggap jelek. Salah satu budaya dominan di Indonesia adalah
budaya paternalistis: yang mengajarkan
memperlakukan orang atas dasar keturunan dan loyalitas. Budaya ini ternyata
berpengaruh signifikan pada birokratisasi di Indonesia. Bahkan, menyebabkan sistem
Weberian yang nampak baik itu mengalami banyak kendala untuk diterapkan.
Sebagai
contoh. Pertama, prinsip hirearki. Pada
konteks masyarakat Barat, di mana gagasan Weber ini tumbuh, konsep hirearki
bisa diterapkan tanpa ada masalah yang akut. Sistem budaya masyarakat yang
menghargai orang atas dasar prestasi kerja membuat bawahan tidak kuatir dengan
karirnya. Mereka bisa bekerja tanpa harus menjadi penjilat atasan. Masa depan
mereka tidak ditentukan oleh atasan, namun oleh sistem kerja.
 |
Gambar 2: Hirearki birokrasi |
Birokratnya
pun loyal terhadap visi institusi dan itu cukup membuat mereka dihargai dan
mendapat promosi jabatan. Loyalitas bukan ditujukan kepada atasan, bukan pula
mereka hadir untuk melayani atasan, pun sebaliknya mereka direkrut dan bekerja
demi visi lembaga. Pada konteks birokrasi, pegawai direkrut untuk melayani masyarakat.
Mereka bertanggung jawab kepada publik dengan memberikan layanan yang maksimal
dan memuaskan. Kalaupun ada kontrol dari atasan, mekanisme yang ada berlaku,
sehingga hal itu dilakukan secara baik dan tidak berdasar semaunya atasan.
Sistem
hirearki, yang dimaksudkan untuk proses membantu pimpinan melakukan supervisi
dan kontrol, dalam praksisnya di Indonesia ternyata melahirkan kebergantungan
bawahan terhadap atasan. Penilaian kinerja seorang bawahan secara subyektif ditentukan
oleh atasan. Sistem penilaian atas dasar kinerja tidak berlaku. Akhirnya,
birokrat dibentuk menjadi pelayan atasan dan bukan sebagai pelayan publik.
Saat
konsep hirearki beroperasi dalam lingkungan masyarakat yang meiliki budaya
paternalistis, kecendernungan pejabat birokrasi memberikan perhatian yang
berlebihan kepada pejabat atasan dengan mengabaikan pelayanan kepada masyarakat
justru memperloleh justifikasi kultural (Dwiyanto, 2011: 65). Peranan atasan
langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting, sehingga pejabat
birokrasi lantas menunjukan prilaku asal bapak senang (ABS). Pejabat bawahan hanya
melaporkan hal-hal baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi
informasi.
Hal
buruk lainnya, akibat interaksi konsep hirearki dengan budaya paternalistis, sebagian
kalangan birokrat dengan posisi tertentu mengangkat orang terdekatnya, teman
seperjuangan dalam politik, menjadi pegawai negeri atau memberikan jabatan
tertentu sebagai bentuk kompensasi loyalitas. Politik balas budi pun lantas membanjiri
birokratisasi di Indonesia.
Kedua, prosedur dan
aturan. Bagi pengguna layanan, prosedur yang tertulis dan rinci sebenarnya
menguntungkan. Prosedur akan mempermudah pengguna memahami hak dan kewajibannya
dalam memperoleh akses pelayanan. Di sisi yang lain, kalangan birokrat akan
tertolong, sebab hal itu membantunya sebagai petunjuk dalam memberikan layanan.
Bahkan, silang kontrol antar pengguna layanan (warga negara) dan pelayan publik
bisa terjadi dengan dasar prosedur dan aturan tertulis ini.
Pada
konteks masyarakat Barat yang memiliki masyarakat sipil yang kuat, fungsi
kontrol bisa berjalan maksimal. Iklim demokrasi membuat masyarakat memiliki
kesadaran yang tinggi dalam memahami hak-haknya. Andai ada pelayanan yang
melanggar hak, dengan mudah mereka melakukan protes, dan di saat yang sama
segera mendapat respon dari pemberi layanan. Para pemakai layanan tidak sunggan
(malu) mengkritik layanan publik yang dianggap melanggar. Ini dimungkinkan,
sebab iklim demokrasi mapan telah mendorong kedewasaan publik, sehingga mereka tidak
mengkultuskan pejabat atau menghormati birokrat secara perlebihan.
Kalangan
birokrat juga tidak mendasarkan tindakannya pada berbagai pertimbangan
subyektif (dengan melihat siapa yang mereka layani). Hal ini membuat layanan
publik dengan prosedur justru menolong mereka, membuat lebih efisien dan
efektif. Prosedur yang jelas membuat birokrat lebih leluasa, mereka bisa
mengambil keputusan.
Pada
konteks Indonesia, penerapan prosedur dan aturan justru menjadi celah korupsi.
Selain karena interaksi dengan budaya paternalitis, prosedur yang panjang juga
melahirkan masalah karena kontruksi birokrasi masih bernuansa Kolonial Belanda.
Birokrasi dalam kerangka Kolonial adalah mesin pengontrol—bahkan cenderung
menjadi penindas—rakyat. Birokrasi adalah kepanjangantangan negara (Belanda)
untuk mengawasi perilaku masyarakat. Semangat saling tidak percaya ini masih nampak secara praktis dalam relasi
antara birokrasi dengan rakyat. Akibatnya, prosedur yang panjang dan rumit itu
diterima dan dianggap wajar sebagai bentuk pengawasan.
Prosedur
yang panjang ini lantas membuka celah korupsi, karena sebagian birokrat kerap
memanfaatkannya. Birokrat mau memberikan layanan tepat waktu, sejauh ada opportunity cost dari pengguna layanan. Masyarakat
tentu lelah dengan prosedur yang panjang itu. Mereka tidak memiliki pilihan,
selain memberikan kompensasi. “Lingkaran setan” suap-menyuap pun dimulai.
Karena tanpa strategi “jalan pintas” ini, berkas akan lama diproses dan urusan
menjadi rumit dan berlarut. Pada konteks ini, lahirlah budaya birokrat yang hanya
melayani orang kaya dan yang mau memberikan sogokan. Budaya paternalitis pun mendapatkan
justifikasinya.
Pada konteks
masyarakat Barat yang individualistik, rasional, menghargai orang atas dasar
prestasi, demokrasi yang mapan, penerapan konsep birokrasi Max Weber tidaklah
soal. Budaya masyaraktanya mampu menjadi sensor yang efektif bagi pelayanan
publik. Sistem Weberian mendapatkan topangan konteks sosial-budaya masyarakt.
Hal ini berbeda dengan konteks Indonesia, di mana budaya paternalistis itu
tumbuh subur. Maka, harus ada upaya yang lebih sistemik dan fundamental untuk
merespon masalah patologi birokrasi kita hari ini.
Minimal
ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan. Pertama, terus mendorong birokratisasi dengan sistem Weberian yang
diterapkan saat ini. Itu artinya, kita harus siap sedia mendorong
demokrastisasi, membuat masyarakat kian individualistik, rasional, dan
mengupayakan tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat. Namun, di sisi lain, kita
juga harus mau menikmati berbagai benturan budaya, serta menerima beragam
kemungkinan tumbuh dan mapannya berbagai patologi di birokrasi.
Kedua, mencari
alternatif bentuk dari organisasi palayan publik di luar konsep Weberian:
birokrasi. Artinya, bisa saja organisasi penyedia layanan publik di Indonesia itu
tidak berbentuk birokrasi, dan dengan ciri serta substansi yang berbeda dengan
konsep Weberian. Hal ini bisa dilakukan dengan kita menilik kembali berbagai
lembaga lokal—semisal Nagari di Sumatera Barat, Gampong di Aceh, serta Pakraman
dan Subak di Bali—yang ada di tengah masyarakat kita, lalu mempromosikannya sebagai
bentuk organisasi layanan publik. Konsekuensinya, masing-masing daerah,
kabupaten, atau desa memiliki bentuk lembaga layanan publik yang dari sisi bentuk,
substansi, dan mekanisme kerja bisa berbeda-beda.
Ketiga, mendesain
ulang konsep Weberian agar lebih akomodatif terhadap konteks budaya
paternalistik kita, termasuk beragam kebudayaan Indonesia yang lain, semisal
kekeluargaan. Hidupnya budaya paternalistis menandakan bahwa ada hal baik dari
budaya ini. Walaupun, pada interaksi dengan konsep birokrasi Weberian banyak negatifnya,
namun saat masyarakat tetap memeliharanya, menandakan ada unsur manfaatannya
dari budaya paternalistis. Karena terbukti ada faedahnya, menjadi tak soal
kalau sistem birokrasi kita didesain bersesuaian dengan budaya tersebut.
Masalah
birokrasi yang muncul hari ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah
mengkontekstualisasikan dan mengola penerapan konsep birokrasi Max Weber. Hal
itu melahirkan beragam masalah, termasuk “obesitas” dan minimnya PNS ahli di
lembaga layanan publik hari ini. Untuk itu, upaya mengatasi beragam patologi
birokrasi harus lebih sistemik dan fundamental. Tanpa perubahan yang demikian, birokrasi
kita akan terus berkutat pada berbagai “penyakit” yang sama, tanpa sanggup beranjak menjadi agen perubahan dan transformasi
masyarakat.
Sumber gambar:
1. http://blog.abhinav.com/india-most-ineffective-bureaucracy-in-asia/
2. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/06/03/118187-indonesia-juara-kedua-birokrasi-tak-efisien-se-asia