Tampilkan postingan dengan label Politik Kebijakan Publik. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik Kebijakan Publik. Tampilkan semua postingan

4 Desember 2013

Putusan Angie: Keberanian yang Beresiko

Keberanian Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung (MA) memberatkan hukuman Angelina Sondakh (koruptor berparas cantik itu), adalah putusan berani. Ini merupakan vonis hukum yang merefleksikan keadilan publik. Hal tersebut tentu menyakitkan hati terpidana dan menyentak batin pelaku korupsi lainnya. Kepolisian perlu segera memberi jaminan keamanan terhadap semua hakim.

Angie—sapaan akrabnya—dihukum 12 tahun penjara dan wajib membayar uang pengganti senilai Rp 12.580 miliar dan UDS 2,350 juta (Rp 27,4 miliar). Kalau tidak membayar, maka diganti dengan kurungan 5 tahun penjara. Padahal, di tingkat pengadilan sebelumnya, Angie hanya divonis 4,5 tahun penjara dan tanpa uang pengganti (SH, 23/11/2013).

Kita membutuhkan putusan hukum tegas dan memberatkan agar mereka yang ingin korupsi berpikir ulang. Apalagi kalau ancaman hukumnya adalah pemiskinan. Meskipun teror dan ancaman keamanan ada di depan mata, kita berharap para hakim terus maju dan berani membuat jerah para perampok uang rakyat itu.

Artikel di hal. 16 Malut Post (Versi Cetak, 04/12/2013)
Keamanan hakim
Untuk itu, perlu barangkali keamaman para hakim agung ini diperhatikan. Seturut dengan semangat pemberantasan korupsi yang kian gencar di negeri ini, maka keamanan penegak hukum pada lingkungan pengadilan negeri harus pula mendapat perhatian serius.

Bukan saja hakim agung, namun pengadil di semua tingkatan, perlu diberikan fasilitas penuh untuk aspek penting ini. Tanpa jaminan keamanan yang memadai, indepedensi hakim dalam memutus berpotensi bias kepentingan karena dihantui rasa ketakutan atas ancaman. Keamanan perlu diberikan kepada mereka, baik pribadi maupun kepada keluarga terdekatnya.

Dari catatan, ancaman kekerasan terhadap hakim sudah sering terjadi. Pada tahun 2008, misalnya, majelis hakim kasus korupsi mendapat teror. Ketika itu, tiga hakim Tipikor Jakarta diikuti oleh orang berbadan tegak (kompas, 19/08/2008). Juli 2013 gedung Pengadilan Negeri (PN) Gorontalo diberondong peluru yang merusak mobil seorang hakim.

Begitu juga pada September 2013, salah satu ormas merusak gedung serta memaksa Pengadilan Negeri Depok melaksanakan putusan. Bahkan, yang lebih mengenaskan adalah kejadian pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Agustus 2001. Kuat dugaan penembakan Syafiuddin terkait erat dengan kasus korupsi yang ditanganinya.

Artidjo Alkostar pernah menjadi anggota majelis ketika Kartasasmita adalah ketua panel sidang dalam beberapa kasus korupsi penguasa Orde Baru (news.liputan6.com, 30/07/2001). Pada kasus Angie ini, Alkostar tampil sebagai ketua majelis hakim. Dia telah dikenal sebagai hakim yang berani menjatuhkan vonis memberatkan terhadap terdakwa kasus korupsi. Sebagai contoh, bersama dengan MS Lumme dan Mohammad Askin, Alkostra menjatuhkan hukuman kasus Tommy Hindratno (pegawai pajak), dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. Begitu pun pada kasus Zen Umar, Alkostar ikut memperberat hukuman Direktur PT. Terang Kita itu dari 5 tahun menjadi 15 tahun penjara. Alkostar juga menjadi hakim yang menjatuhkan vonis hukum Anggodo Widjojo, yang semula 5 tahun menjadi 10 tahun penjara.

Artinya, kiprah Alkostar termasuk para hakim agung lainnya berpotensi membuat terpidana korupsi sakit hati. Terbuka kemungkinan mereka melakukan upaya balas dendam. Mengantisipasi hal itu, dukungan keamanan terhadap hakim harus segera diperketat. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Peradilam Umum Pasal 25 Ayat 5 dan PP No. 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung (Pasal 7), penanggungjawab utama keamanan hakim dan keluarganya adalah pihak Kepolisian.

Pada tahun 2001, setelah kejadian penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, keamanan terhadap hakim agung ternyata berjalan seadanya. Wakil Ketua Mahkamah Agung H. Taufiq (waktu itu) disebut-sebut tidak mendapat pengawalan khusus sama sekali dari pihak Kepolisian. Padahal, pembunuhan tersebut adalah teror terbuka terhadap kiprah hakim agung. Bahkan, Alkostar, sebagai salah satu hakim, juga pergi-pulang kantor dengan menggunakan bajaj tanpa ada pengawalan.

Kita berharap kini pemberian fasilitas keamanan terhadap hakim agung MA, termasuk kepada hakim lainnya, sesuai aturan telah diberlakukan. Kalaupun belum, kita meminta agar pihak Kepolisian segera melakukannya. Dengan begitu para hakim itu tetap leluasa menjalankan tugas. Bahkan makin berani memberikan vonis hukum tegas serta memiskinkan siapapun yang telah terbukti melakukan korupsi.

22 November 2012

Bersihkan Pemerintahan


Artikel di hal. 16 Malut Post (Versi Cetak, 22/12/2012)
Upaya negeri ini melakukan reformasi birokrasi ternyata tidak mudah. Langkah penciptaan lembaga pelayanan publik bersih harus terhadang sikap “toleran” perilaku koruptif di internal lembaga penyelenggara pemerintahan. Maraknya promosi jabatan oleh kepala daerah terhadap mantan terpidana kasus korupsi adalah buktinya.

Belum lama ini, publik ramai mengecam pengangkatan Azirwan, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintang sekaligus “alumni” rumah tahanan, oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perikanan Pemerintah (DKP) Provinsi Kepri. Kasus Azirwan membuat geger seluruh negeri, sebab pengangkatan dilakukan dengan alasan tidak melanggar hukum formal, dan apalagi dengan dalih yang bersangkutan dianggap berprestasi dan berkelakuan baik. Padahal, Azirwan adalah bekas terpidana kasus korupsi dengan vonis penjara 2,5 tahun karena menyuap anggota Komisi IV DPR, Al Amin Nasution, dalam kasus alih fungsi hutan lindung tahun 2008.
Walau akhirnya Azirwan memilih mundur (22/10/2012), pengangkatan tersebut telah mencoreng semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, sekaligus membuka dosa sejenis yang dilakukan oleh sebagian kepala daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Gubernur Maluku Utara, Thaib Armayin—yang kini menjadi tersangka Mabes Polri dalam kasus korupsi—mengangkat sejumlah mantan narapidana kasus korupsi sebagai pejabat struktural. Mereka di antaranya adalah Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Pemerintahan Provinsi Imran Chaili (48) dan Arief Armaiyn (50), adik kandungnya, menjadi Kepala Badan Penganggulangan Bencana.
Imran sebelumnya terlibat kasus korupsi dana darurat sipil tahun 2002 yang merugikan negara sekitar Rp3miliar dan dihukum dua tahun penjara. Sedangkan Arief adalah mantan narapidana untuk kasus korupsi pembangunan Keraton Kesultanan Jailolo pada tahun 2009, yang dihukum satu tahun penjara.
Hal serupa juga dilakukan beberapa Bupati dan Wali Kota. Sebagai contoh, sebut saja Yan Indra, yang terlibat kasus korupsi pembebasan lahan PT Saipem Indonesia tahun 2007, dengan vonis 1,5 tahun penjara, dipromosikan oleh Bupati Karimun, Nurdin Basirun, menjadi Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga. Bupati Natuna Ilyas Sabli mengangkat Senagip, mantan napi kasus korupsi dana bagi hasil migas menjadi Kepala Badan Keselamatan Bangsa. Raja Faisal Yusuf, terpidana kasus korupsi pembangunan gedung serbaguna Tanjung Pinang, dengan vonis 2,5 tahun penjara, oleh Wali Kota Tanjung Pinang, Suryatati, diangkat menjadi Kepala Badan Perizinan Terpadu.
Menteri Dalam Negeri lantas merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Secara substansi surat ini melarang kepala daerah memberikan jabatan kepada bekas napi kasus korupsi. Meski begitu, publik harus menunggu hasil terbitnya surat tersebut, mengingat edaran ini sebatas himbauan tanpa sanksi.
Hentikan sikap toleran
Munculnya polemik promosi jabatan terhadap mantan narapidana kasus korupsi, yang hendak mendudukan mereka sebagai pejabat terhormat, tentu adalah anomali dan merupakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di tanah air.
Padahal, pemberantasan tindak pidana korupsi akan efektif jika diikuti oleh sistem penghargaan dan hukuman yang dapat dipercaya. Ganjaran dan ancaman menjadi penting dan diperlukan dalam peningkatan efisiensi dan membatasi terjadinya tindakan korup (Susan Rose-Ackerman, 2006: 111).
Pada konteks ini, promosi jabatan seharusnya menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi, berfungsi sebagai penghargaan bagi mereka yang berprestasi dalam kerja dan bersih dari perilaku koruptif, serta sebaliknya tidak ada promosi jabatan bagi mereka yang pernah terlibat kasus korupsi. Sistem monitoring yang terpercaya dan apolitis harus berfungsi sebagai sarana melacak pegawai korup, dan menjadi alat penghambat utama bagi perilaku koruptif pegawai.
Di sisi lain, promosi jabatan terhadap mantan terpidana kasus korupsi sesungguhnya bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi, yang akhirnya melahirkan Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk alasan pembentukan KPK. Menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa—yang telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional—tidak akan berfaedah apa-apa jika dalam menghadapinya, penyelenggara pemerintahan tidak menerapkan kebijakan berkesinambungan yang melahirkan efek jera.
Bukan saja itu, komitmen pemerintah hari ini yang menyatakan “perang” terhadap korupsi, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai “panglima”, juga akan tercederai dengan adanya sikap toleran yang masih terjadi di lingkungan penyelenggara negara. Komitmen pemerintah Indonesia bahkan layak dipertanyakan publik, jika toleransi terhadap mantan napi kasus korupsi masih leluasa dilakukan. Pembiaran kepala daerah memberikan jabatan penting kepada mereka yang berstatus mantan narapidana korupsi jelas kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Adanya promosi jabatan struktural terhadap mantan napi kasus korupsi adalah anomali akut yang mestinya segera disudahi. Bermacam kritik publik yang bermunculan adalah cerminan adanya pertentangan serius antara promosi jabatan tersebut dengan semangat pemberantasan korupsi di tanah air. Untuk itu, kepala-kepala daerah, utamanya yang telah mengangkat mantan napi kasus korupsi menjadi pejabat, agar segera melakukan “pembersihan” kelembagaan dengan melaksanakan isi surat edaran Menteri Dalam Negeri tersebut. Kita berharap tidak akan ada lagi promosi jabatan struktural apapun terhadap mantan koruptor oleh kepala daerah di manapun pasca lahirnya putusan menteri dalam negeri itu.

Sumber hal. 16 Malut Post (22/12/2012): http://malutpost.co.id/?p=4711

16 November 2012

Fenomena Parpol Lemah: Sebuah Refleksi dari Pilkada DKI Jakarta



Gambar 1: Mural himbauan

Kelembagaan Partai Politik (Parpol) yang lemah membuat Fauzy Bowo dan Nacrowi Ramli (Foke-Nara) gagal memenangi pertarungan Pilkada DKI Jakarta. Pun, tidak lebih sama, dukungan Parpol belum menjadi faktor dominan atas kemenangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama (Jokowi-Ahok).
Keunggulan Jokowi-Ahok mengambaran bahwa suara (pilihan) rakyat tidak identik dengan dukungan Parpol secara kelembagaan di DPRD DKI Jakarta. Secara kuantitatif, Jokowi-Ahok mestinya kalah, sebab hanya didukung dua Parpol, yakni Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (11 kursi) dan Gerindra (6 kursi), yang menguasai kurang dari 20 persen suara.
Sedangkan Foke-Nara diusung oleh beberapa partai besar, seperti Partai Demokrat (32 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (18 kursi), Golkar (7 kursi), Partai, Partai Persatuan Pembangunan (7 kursi), Amanat Naisonal (4 kursi), Partai Damai Sejahtera (4 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (1 kursi), yang mendominasi kursi (sekitar 80 persen) di DPRD DKI Jakarta.
****
Kemenangan Jokowi-Ahok dan kekalahan Foke-Nara menunjukan bahwa, tanpa kelembagaan yang kuat, klaim sokongan dari Paprol tidak akan berjalan lurus dengan pilihan politik publik. Saat Parpol lemah, sosok figur dominan menjadi faktor kemenangan. Fenomena Pilkada DKI Jakarta membuktikan hal itu. Publik dan media massa memandang sosok Jokowi dan Ahok lebih merakyat, ramah, hangat, tidak arogan, egaliter, dan lebih bisa diterima karena menyentuh kalangan masyarakat bawah. Sedangkan Foke-Nara justru sebaliknya.
Lemahnya kinerja Parpol bisa terbaca dari strategi komunikasi politik yang digunakan kandidat selama masa kampanye berlangsung. Slogan Kotak-Kotak dan Kumis, misalnya, terlihat lebih dominan dan populer ketimbang simbol-simbol Parpol yang mengusung mereka. Lambang Parpol—begitu juga dengan kerja sistem kelembagaannya—nampak tidak menjadi sarana memadai yang begitu didandalkan oleh kedua kandidat sebagai alat penarik dukungan massa.
Buruknya kelembagaan Parpol juga terkonfirmasi dengan munculnya isu SARA selama masa kampanye putaran kedua. Walau pada akhirnya tidak berpengaruh signifikan terhadap perolehan suara, munculnya propagada nasionalisme SARA sebagai alat politik, adalah bukti yang paling mencolok tentang bagaimana lemahnya kelembagaan Parpol penggusung kedua kandidat.
Jack Snyder (2000: 78-83) merumuskan empat jenis nasionalisme, yakni nasionalisme SARA—atas dasar etnis, agama, serta bahasa, dst.—kontra-revolusi, revolusi (jenis yang ekslusif), dan nasionalisme sipil (jenis inkusif) yang kerap muncul sebagai gerakan kolektif di suatu negara transisi menuju demokrasi mapan.
Nasionalisme dimaksud adalah doktrin bahwa rakyat yang memandang diri sendiri berbeda karena budaya, sejarah, lembaga, atau prinsip-prinsip, perlu memerintah diri sendiri dalam suatu sistem politik yang mencerminkan dan melindungi perbedaan itu.
Penelitian Snyder menunjukan bahwa pada negara-negara transisi menuju demokrasi, nasionalisme ekslusif sering menjadi alat bagi elit politik untuk memobilisasi dukungan massa. Dan akibat ketiadaan lembaga politik yang memadai sebagai pengontrol tindakan kolektif, tak jarang negara-negara tersebut akhirnya terlibat dalam konflik dan perang, yang malah menghambat demokratisasi. Kasus Serbia (1840-1914) adalah contohnya.
Ada dua situasi yang mendorong elit politik memunculkan semangat nasionalisme SARA. Pertama, ketika ada elit politik yang memiliki kepentingan kuat (tegar) merasa terancam karena demokratisasi. Kedua, dan apabila dalam proses itu lembaga-lembaga politik yang dimiliki tidak memadai dan diandalkan sebagai mekanisme kontrol tindakan kolektif dan saluran aspirasi politik. Akhirnya, tidak ada pilihan bagi elit politik, selain menggalang kesetiakawanan dan dukungan lewat ikatan-ikatan kultural: propaganda nasionalisme SARA.
Sedikit-banyak, apa yang dikatakan Snyder tercermin dalam konstestasi perebutan kursi  gubernur DKI Jakarta. Kita bisa melihat, bagaimana demokratisasi yang memungkinkan pergantian kepemimpinan daerah mengelisahkan sebagian elit politik lokal dan nasional, yang terlibat dalam proses Pilkada. Di tengah lemahnya kelembagaan politik, elit politik yang merasa kepentingannya terancam, lantas mengangkat isu-isu primodial, menggunakan nasionalisme SARA untuk menggalang dukungan politiknya.
Munculnya fenomena propaganda nasionalisme SARA, slogan Kotak-Kotak dan Kumis, serta perbedaan signifikan perolehan suara antara kandidat gubernur dengan jumlah kursi Parpol di DPRD DKI Jakarta, adalah gambaran keprihatinan, bahwa demokratisasi kita hari ini tidak ditunjang oleh kualitas lembaga politik kuat yang bisa diandalkan sebagai mesin penyalur apirasi publik.
Lembaga politik kita berada dalam posisi yang rapuh dalam mengawal proses demokratisasi. Parpol tidak berfungsi, baik sebagai sarana komunikasi politik (aktualisasi kepentingan), sarana sosialisasi politik, alat pengatur konflik, dan sebagai sarana rekruitmen politik (Miriam Budiardjo, 2005).
Beberapa survei selama kurun waktu tahun 2012 mengenai tingkat kepercayaan publik terhadap kinerja Parpol mengkonfirmasi hal tersebut. Bahwa di mata masyarakat Parpol memang bukan saluran mekanisme politik yang diandalkan. 
Hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis pada awal tahun ini (13/02/2012), menunjukkan bahwa secara umum pemilih kecewa dengan semua Parpol. Sebanyak 48,4 persen masyarakat tidak memiliki pilihan ketika ditanyai dukungan mereka terhadap Parpol.
Survei oleh LSI pada 1-12 Februari 2012 juga menunjukan lebih dari 50 persen responden berpotensi tidak akan memilih pada pemilu 2014. Hanya 49 persen responden yang sudah mantap menentukan pilihan. Bahkan, Parpol yang mendapatkan respon publik hanya mampu mencapai angka dukungan 17,7 persen (Golkar), PDIP (13,6 persen), Demokrat (13,4 persen).
Terakhir, survei Charta Politica (30/08/2012), yang memperlihatkan bahwa 76 persen masyarakat kita tidak memiliki relasi yang dekat dengan Parpol. Hanya 14 persen responden yang mengaku dekat dengan lembaga sosialisasi politik itu.
Padahal, demokratisasi mensyaratkan kehadiran Parpol yang kuat dan berfungsi mengawal dinamika politik di suatu negara. Tak ada negara demokrasi mapan yang tidak didukungan oleh kinerja Parpol yang memadai dan bisa diandalkan publik.
****
Berkaca dari fenomena di Pilkada DKI Jakarta yang mengindikasikan lemahnya kelembagaan serta kinerja Parpol, hendaknya mendorong elit politik di seluruh Tanah Air untuk segera melakukan pembenahan, termasuk di Maluku Utara.
Harapannya, masyarakat Maluku Utara yang akan menyongsong Pilkada Gubernur juga mampu secara cerdas—mengikuti logika politik warga Jakarta—mengantisipasi kemungkinan munculnya politisasi identitas. Masyarakat mestinya berani mengatakan tidak bagi calon yang menggunakan politik identitas sebagai komuditas mendulang popularitas. Bahkan, kita juga mendorong agar elit politik yang terlibat kompetisi politik menghidari macam-macam manuver yang menjual murah identitas keagamaan, kesukuan, dan identitas primodial lainnya dalam panggung politik.
Sembari itu, kita juga berharap elit politik di Maluku Utara melakukan penguatan kapasitas fungsi dan peran kelembagaan Parpol. Karena dengan kelembagaan Parpol yang berfungsi maksimal—baik sebagai sarana komunikasi politik (aktualisasi kepentingan), sarana sosialisasi politik, alat pengatur konflik, dan sebagai sarana rekruitmen politik, yang bisa diandalkan publik—maka potensi konflik politik berujung kekerasan komunal cenderung bisa dikendalikan, proses transisi kepemimpinan akan lancar, bahkan akhirnya proses Indonesia menuju negara demokrasi mapan, termasuk di Maluku Utara sendiri, menjadi leluasa untuk kita lalui.

Sumber gambar: 
1. http://fokus.news.viva.co.id/news/read/351445-kemeriahan-pilkada-jakarta-singgah-di-dunia-maya

18 September 2012

Ancaman Laten Terorisme

Artikel di hal. 4 Koran Sinar Harapan (14/09/2012)
Serangkaian aksi teroris yang melibatkan anak muda kembali menguncang tanah air. Setelah Detasemen Khusus (Densus 88) Antiteror menyergap pelaku terduga teroris di Kota Solo, Jawa Tengah (31/08/2012), aksi yang sama kembali terjadi di Beiji, Depok, Jawa Barat (08/09/2012). Hal ini membuktikan regenerasi terorisme terus berjalan, sekaligus adalah cerminan bahwa kontra teroris yang pemerintah lakukan selama ini belum berhasil menyentuh akar sebab masalah teroris di tanah air.

Keterlibatan anak muda dalam berbagai aksi teroris mulai terkuak sejak tahun 2007 ketika Isa Anshori (16) dan Nur Fauzan (19) ditangkap Densus 88 dengan tuduhan menyembunyikan Taufik Kondang (salah seorang anggota jaringan teroris komplotan Abu Dujana). 
 
Tahun 2009 ada Dani Dwi Permana (18), yang menjadi eksekutor bom di hotel JW Marriott dan Nana Ikhwan Maulana (28), yang terlibat pada bom bunuh diri di hotel Ritz Charlton. Dan terakhir, penyergapan di Kota Solo yang menewaskan Farhan Mujahidin (19), Mukhsin Sanny Permadi (20), dan Bayu Setiono (24) yang diringkus dalam keadaan hidup.
 
Hasil penelitian Indonesia Institute for Society Empowerment (Insep) 2011 juga menunjukan, bahwa dari 110 teroris, ada 47,3 persen yang berumur 21-30 tahun. Sedangkan pelaku yang berusia lebih dari 40 tahun hanya berkisar 11,8 persen.
 
Keterlibatan pemuda pada berbagai aksi teror patutlah kita sesali. Mereka mestinya sedang menyiapkan diri (dan dipersiapkan) guna melanjutkan estafet membangun masa depan negeri ini, bukan sebaliknya terlibat dalam macam-macam aksi yang malah mencederai rasa kemanusiaan kita.
 
Negara tidak boleh meremehkan fakta ini, mengingat sebagai pemuda, mereka memiliki potensi kreativitas yang bisa melahirkan tindakan teror dengan gaya yang lebih bervariasi. Pemerintah perlu melakukan deradikalisasi yang lebih kreatif, khususnya kepada anak muda, guna memutus regenerasi terorisme.

Deradikalisasi terorisme
Ideologi (Blackwell, 2000) dimaknai sebagai sistem berpikir universal untuk menjelaskan kondisi manusia, berkaitan dengan proses sejarah menuju masa depan lebih baik dan mengganti Orde yang lama secara revolusioner. Atau dalam bahasa lain, ideologi adalah cara pandang dunia (world outlook) untuk menilai situasi dalam rangka mewujudkan kehidupan terbaik (utopia).

Ideologi (Macridis, 1989) memiliki daya rembes (pervasiveness), perluasannya (extensiveness), dan kedalaman (intensiveness). Pada konteks kehidupan sosial masyarakat, ruang lingkup pendukung ideologi terbentuk secara alami, berdasar persamaan pikiran dan pengalaman. Sudah tentu, hal ini mengandalkan kesukarelaan penganutnya untuk merealisasikan nilai-nilai ideologi.


Terorisme adalah strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat umum (Whittaker, 2003). Atau merupakan tindakan pembunuhan dengan sengaja yang direncanakan secara sistematik, sehingga menimbulkan ketakutan umum, demi mencapi tujuan politik (Poul Johnson, 2008).


Itu artinya, teror sebagai ideologi mendasarkan tindakannya pada nilai dan cara pandang dunia (world view) tertentu yang dianggap bermanfaat demi pencapaian tujuan. Dan sudah tentu, terorisme mengukuhkan atau memperbesar harapan. Terorisme juga menampilkan kesederhanaan dan gambaran tentang cita-cita yang mudah dipahami, menjadi daya tarik tersendiri, sehingga leluasa disebarluaskan.


Selain itu, terorisme yang adalah ekspresi radikalisme, merupakan keyakinan dan tindakan yang menentang serta ingin menggantikan ciri-ciri dari tatanan yang sudah ada; yang dianggap sentral dan difinitif. Dalam mengidentifikasi sudut pandang politik, ideologi ini menunjukan komitmen yang ekstrem, tanpa kompromi, bersifat absolut, konspirasional terhadap musuh, dan siap menggunakan metode nondemokrasi dalam konflik politik.


Radikalisme juga berkomitmen pada perubahan yang komprehensif, menyangkut banyak isu yang konkret. Apalagi, di tengah anggapan bahwa ideologi dominan yang ada dalam masyarakat tidak menjawab kompleksitas masalah yang sedang dihadapi, aksi terorisme akan menjadi jawaban (sarana) utopis untuk melakukan perubahan.


Di banyak kasus, umumnya pelaku teror melakukan aksi dengan tujuan hendak mengubah secara radikal satu tatanan yang tidak disetujuinya. Untuk mencapainya, mereka lantas menebar teror, yang diyakini sebagai sarana yang tepat. Tak peduli siapa yang akan menjadi korban. Terorisme memberikan legitimasi bagi penghilangan nyawa orang lain.


Untuk itu, upaya deradikalisasi terhadap gerakan terorisme harus dilakukan melalui langkah-langkah konkrit yang menyentuh dan mengoreksi ideologi sebagai sumber gerakan teroris. Dibutuhkan tindakan kontra teroris yang terarah serta terfokus untuk melumpuhkan daya rembes dan perluasan ideologi teror.


Selama ini pemerintah, melalui Densus 88, telah berhasil tampil sebagai “pemadam kebakaran” melalui tindakan-tindakan represif terhadap pelaku aksi teror. Akan tetapi, itu tidak cukup untuk menyelesaikan akar masalah.


Langkah kontra teroris yang telah dilakukan oleh pemerintah perlu dilihat relevansinya, mengingat secara faktual regenerasi terorisme terus menapaki “jejak langkahnya”. Deradikalisasi yang dilakukan belum mampu menghambat laju penyebaran dan meredam kemungkinan regenerasi ideologi teroris terhadap kalangan muda. Metode deradikalisasi yang bersesuai dengan selera anak muda perlu segera dikembangkan dan direalisasikan secara terus-menerus. Karena terwarisinya terorisme akan menjadi ancaman laten bagi eksistensi Indonesia di masa mendatang.


Selain itu, pemerintah juga perlu mengantisipasi dan menyelesaikan persoalan-persoalan sosial lain yang turut menyuburkan dan mendukung perluasan penyebaran ideologi teror pada kaum muda. Pemerintah harus mengidentifikasi sebab-sebab mengapa ideologi teror menjadi menarik bagi generasi muda kita. Informasi mengenai situasi ini penting guna kepentingan intervensi kebijakan yang berkelanjutan.


Karena tanpa upaya penyelesaikan menyangkut situasi sosial yang turut menyuburkan hadirnya ideologi teror, bibit terorisme akan mudah disebar, terlegitimasi untuk tumbuh, serta menjadi ancaman bagi kehidupan berbangsa kita.


Munculnya aksi teror oleh anak muda adalah bukti bahwa masih terjadi regenerasi terorisme. Ini sekaligus adalah tanda bahwa pemerintah harus mengoreksi strategi kontra teroris yang telah lakukan. Inovasi strategi deradikalisasi harus bisa mencegah regenerasi ideologi terorisme demi menghindarkan bangsa ini dari ancaman laten terorisme.


Sumber: Opini Koran Sinar Harapan (14/09/2012)

31 Agustus 2012

Petaka Mudik dan Kemiskinan


Artikel di hal. 16 Malut Post (30/08/2012)
Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah, yang diikuti mudik bersama (pulang kampung) telah kita lewati. Ratusan ribu perantau yang bermukim dan atau bekerja di kota-kota besar serta jauh dari keluarga, seperti Jakarta, Surabaya, Makasar (dst.) memadati ruas-ruas jalan raya utama, stasiun kereta api, dan pelabuhan udara serta laut, guna melakukan perjalanan menuju kampung halaman demi melewati Hari Raya bersama sanak keluarga.
Sayangnya, suasana gembira pemudik tahun ini masih terus dibayangi dan tidak lepas dari terpaan kecelakaan maut yang merengut jiwa.
Jika pada tahun 2011 total 4.133 kecelakaan yang melibatkan kendaraan, maka pada tahun ini kecelakaan dalam kategori yang sama–untuk sementara—mengalami kenaikan menjadi 5.130 kasus. 70 persen dari kasus kecelakaan ini melibatkan sepeda motor (SP, 23/08/2012). Terdapat 3.881 unit sepeda motor yang terlibat dalam kecelakaan. Jumlah ini meningkat 17 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 3.213 unit. Sedangkan mobil penumpang 885 unit, mobil barang 536 unit, mobil bus 198 unit, dan kendaraan khusus (11 unit).
Selain itu, korban meninggal terhitung dari H-7 sampai H+2 berjumlah 848 jiwa. Korban luka berat mencapai 1.031 dan 3.444 yang luka ringan. Sedangkan total kerugian diperkirakan mencapai Rp 7,4 miliar. Penyebab kecelakaan paling banyak karena faktor manusia (kelelahan dan mengantuk) yang jumlahnya mencapai 2.373 kasus, selain karena diakibatkan oleh prasarana jalan yang kurang layak 407 kasus dan kelaikan kendaraan 366 kasus. Adapun daerah yang paling rentan kecelakaan adalah di sekitar Jawa Tengah, jalur pantai utara Jawa, yakni 365 kasus dengan 57 korban meninggal, di susul jalur selatan dengan 346 kasus (37 korban meninggal), dan jalur tengah 155 kasus (16 korban meninggal). Jumlah ini berpotensi meningkat karena masih ada arus balik Lebaran.
Tingginya angka kecelakaan yang melibatkan sepeda motor pada mudik tahun ini, mencerminkan belum maksimal peran pemerintah dalam menurunkan potensi kemungkinan terjadinya kecelakaan. Pemerintah belum cukup berhasil “merayu” masyarakat pemudik untuk tidak melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan sepeda motor. Pilihan masyarakat untuk tetap memakai sepeda motor—bahkan jumlahnya cenderung naik—dibandingkan dengan menggunakan transportasi publik lainnya, adalah tanda bahwa layanan transportasi yang disediakan pemerintah masih belum cukup memadai sebagai alternatif buat pemudik.
Pada lebaran tahun ini, jumlah pengguna sepeda motor justru naik menjadi 2.514.624 (6,16 persen) dari tahun sebelumnya (2.368.720), dan pengguna mobil pribadi naik menjadi 1.605.299 (5,60 persen) dari tahun 2011, yakni 1.520.150 (SP, 25/08/2012). Dan sebaliknya, penggunaan angkutan umum, seperti bus mengalami penurunan 9,27 persen. Itu artinya, walau harus berjerih lelah dan menanggung capek, masyarakat masih melihat sepeda motor sebagai pilihan ideal untuk mudik ketimbang naik angkutan umum bus. Padahal, mereka harus menempuh perjalanan yang terhitung jauh (lintas provinsi) dan melelahkan. Alhasil, akibat capek dan daya konsentrasi menurun, kecelakaan maut pun tak terhindarkan.
Pemerintah harus berbenah menghadapi musibah tahunan yang selalu merenggut ratusan jiwa dan melibatkan ribuan kendaraan ini. Lembaga pemerintah terkait tidak pantas lagi bersikap reaktif, dan hanya melakukan pembenahan pasca kejadian dan atau ketika media menyorotinya.
Selain pentingnya penegakan hukum oleh pihak kepolisian guna menertibkan pengendara, mengingat dari 4.676 korban kecelakaan ada 1.548 orang yang tidak memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi), pemerintah juga harus melakukan langkah-langkah strategis perbaikan bersifat jangka panjang dan komprehensif agar kejadian yang mendukakan publik ini tidak lagi berulang setiap tahunnya.
Desakan ini penting, mengingat pemerintah kita sering kali muncul dengan berbagai kebijakan reaktif dalam menghadapi musim hari raya, baik dalam soal penyediaan dan membenahan jalan berkualitas, serta alat transportasi publik. Fenomena penambahan gerbon kereta api saat pemudik kian berdesakan adalah kebijakan yang umum sering kita temukan. Dan pembenahan jalan raya utama saat menjelang Lebaran menjadi hal yang lumrah bermunculan.
Akhirnya, saat mendekati hari Lebaran masih ada beberapa ruas jalan yang kerap dipenuhi pemudik masih belum tuntas diperbaiki, seperti yang terlihat pada ruas jalan alternatif Sadang-Cijelag (Kab. Subang), ruas jalan Sarengseng-Pabuaran-Cipeundeuy (sepanjang 17 kilometer) yang 60 persen-nya rusak (penuh lubang mengangga), serta ruas jalan Sukamandi-Purwadari-Kalijati (sepanjang 22,7 kilometer).
Dampak sosial kecelakaan
Pemerintah harus aktif mengantisipasi potensi terjadinya kecelakaan pada waktu Lebaran di tahun mendatang. Karena berbagai kecelakaan yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa (maupun yang luka berat) memiliki dampak signifikan bagi kehidupan sosial keluarga yang menjadi korban. Apalagi, usia rata-rata korban yang mengalami kecelakaan adalah 21-30 tahun, yang tergolong usia pruduktif. 
Tim Kerja Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia pada tahun 2002 pernah membuat perkiraan bahwa kecelakaan itu menimbulkan pemiskinan terhadap 62,5 persen dari keluarga korban kecelakaan yang meninggal dunia. Sedangkan bagi korban luka berat 20 persen yang mengalami pemiskinan dan penurunan kesejahteraan (Kompas, 25/08/2012).
Salah satu sebab kemiskinan adalah karena keterbatasan fisik (jenis kemiskinan individual) dalam mengakses berbagai sumber ekonomi-politik dan hak-hak dasarnya sebagai warga negara (Paulus Wirutomo, 2011). Kecelakaan yang merusak fisik seseorang berpotensi memproduksi kemiskinan baru; menghilangkan kemapanan ekonomi sebagai jaminan kualitas hidup seseorang atau kelompok.
Ini menjadi rasional, sebab jika yang meninggal dalam kecelakaan adalah mereka yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, maka sumber utama pemberi nafkah menjadi hilang atau berkurang. Begitupun bagi mereka yang mengalami luka berat, dirinya dan keluarga akan menanggung biaya perawatan, yang barang tentu menjadi beban hidup yang tidaklah ringan. Belum lagi menyangkut kebutuhan kasih sayang seorang anak yang terpaksa kehilangan salah satu atau kedua orangtuanya dalam kecelakaan, juga akan menjadi persoalan rumit karena akan terbengkalai.
Artinya ongkos sosial kehidupan keluarga dan atau masyarakat korban kecelakaan tidaklah murah. Bahkan, kondisi buruk akibat kecelakaan transportasi bisa berujung pada pemiskinan yang diwariskan atau berkelanjutan.
Malut Post (30/08/2012)
Untuk itu, berkaca dari situasi kecelakaan pada Lebaran tahun ini pemerintah mesti tidak tinggal diam. Negara harus mengambil langkah-langkah antisipasi guna meminimalisir potensi kecelakaan transportasi pada saat mudik Lebaran, maupun dalam kehidupan publik setiap hari. Prosesnya bisa dengan rekayasa sosial yang menstimulus penurunan jumlah pengguna sepeda motor, utamanya bagi mereka yang melakukan perjalanan jauh (lintas provinsi) serta perbaikan yang berkelanjutan—tidak sekadar tambal sulam—terhadap jalan raya utama yang sering dilewati pemudik.
Selain itu, bagi masyarakat yang berkepentingan membawa sepeda motor ke kampung halaman, pemerintah juga perlu memberikan alternatif dan kemudahan pengiriman, baik melalui angkutan laut (seperti penggunaan KRI Banda Aceh dari Pelabuhan Tanjung Emas Kota Semarang menuju Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta) dan atau melalui penyediaan gerbong kereta api khusus yang disiapkan untuk mengangkut sepeda motor antar provinsi.
Dan di bagian lain, pemerintah perlu menyediakan armada bus umum dan kereta api dalam jumlah memadai dengan fasilitas yang manusiawi (semisal menggunakan pendingin ruangan) serta dengan harga terjangkau sebagai pilihan bagi pemudik. Kebijakan pembenahan pelayanan oleh PT Kereta Api Indonesia, dengan menerapkan boarding pass saat pemberangkatan serta disediakan pendingin ruangan (air conditioner/AC) pada kereta api jenis ekonomi patut diapresiasi. Akan tetapi, pemerintah masih perlu mengembangkan dan memperbanyak daya angkutnya yang masih dirasa terbatas.
Dengan begitu, ajakan pemerintah untuk menggurangi penggunaan sepeda motor untuk jarak jauh saat libur hari raya tiba, guna mengurangi potensi kecelakaan yang memiskinkan ini, menjadi rasional dan beralasan untuk dilakukan.
Sumber (cek di hal. 16): Opini Malut Post (30/08/2012)

5 Agustus 2012

Krisis Kedelai dan Keberpihakan Pemerintah

Tindakan pemerintah membebaskan bea impor kedelai hingga 31 Desember 2012 melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 13/PMK.011/2011 guna menghadapi kenaikan harga bahan pokok ternyata tidak berdampak signifikan. Buktinya, keputusan tersebut tetap tidak mengurungkan niat Gabungan Koperasi Tahu Tempe (Gakoptindo) untuk mogok produksi sejak 25-27 Juli 2012.

Sangat disesalkan, aksi mogok produksi oleh Gakoptindo diiringi dengan tindakan sweeping oleh pengurus organisasi tersebut terhadap rekan mereka sendiri. Pengrajin tahu tempe dan atau pedagang yang kedapatan masih memproduksi tahu dan atau menjual tempe didatangi, dirampas dan dirusak bahan baku kedelainya. Mereka dintimidasi dan diingatkan untuk tidak berproduksi hingga massa mogok produksi yang disepakati (27 Juli). Akibatnya, tahu tempe menghilang dari pasaran.

Sesungguhnya bukan hanya pengrajin tempe yang mengalami kerugian akibat melambungnya harga kedelai, tapi juga pedagang ”gorengan” tahu tempe ikut terkena dampaknya. Mereka terpaksa menganggur untuk sementara waktu, dan tragisnya itu terjadi di saat masa ”panen”pedagang ”gorengan”tahu tempe, yakni setiap bulan puasa.

Pemerintah dalam hal ini menteri pertanian harus bertanggung jawab terhadap kondisi ini. Pemerintah harus mencari solusi cerdas untuk mengatasi kondisi itu, bukan hanya solusi instan yang tak berdampak pada jangka panjang, dan terus berulang. Apalagi Indonesia pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1995.

Keberpihakan pemerintah
Tindakan pemerintah membebaskan bea impor kedelai adalah bentuk solusi reaktif dan bukan aktif sebab masalah krisis pangan, termasuk kekurangan pasokan kedelai berakibat melambungnya harga jual, bukanlah persoalan baru di negeri ini. Hampir setiap tahun masalah sejenis mengemuka, tetapi tidak juga nyata solusi komprehensif dan jangka panjang seperti apa yang perlu dilakukan. Alhasil, pemerintah hanya menjadi “pemadam kebakaran” saat menghadapi masalah-masalah sistemik seperti ini.

Padahal, dari segi alokasi anggaran Kementan terus mengalami kenaikan. Akan tetapi, produksi nasional (2011) justru mengalami penurunan. Produksi kedelai turun 4 persen begitu juga dengan jagung turun sebesar 6 persen (Investor Daily, 26/07/2012). Untuk itu, tindakan mogok ini harus dipahami sebagai koreksi terhadap kinerja pemerintah yang memang belum optimal.

Setiap tahun kebutuhan kedelai secara nasional mencapai 2,6 juta ton, tetapi produksi dalam negeri hanya berkisar 600-800 ribu ton. Kondisi ini menimbulkan ketergantungan terhadap impor. Komitmen pemerintah menuju swasembada pangan pada tahun 2014 pun menjadi sangat diragukan. Karena mustahil dalam waktu dua tahun Indonesia bisa memproduksi 2,7 juta ton kedelai per tahun. Pemerintah perlu bekerja keras, memikirkan, dan membuat kebijakan yang mengarah pada upaya mengurangi kebergantungan terhadap impor melalui peningkatan produksi nasional, termasuk keharusan melindungi petani kedelai dan pengrajin tempe tahu nasional.

Masalah krisis kedelai di Indonesia terjadi hari ini tidak lepas dari kurangnya keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap petani kedelai dan pengembangan produksi kedelai secara nasional. Petani mengeluh biaya produksi kedelai yang terus naik karena dipicu oleh kenaikan harga benih, pupuk, sewa lahan, dan obat-obatan. Namun di satu sisi, produktivitas kedelai juga rendah akibat harga kedelai selalu jatuh saat panen raya.

Varietas kedelai nasional yang kini digunakan rata-rata beratnya 12-15 gram per 100 biji sedangkan untuk yang impor (khususnya dari Amerika) adalah 18 gram per 100 biji. Artinya, secara kualitas varietas kedelai hasil produksi Indonesia yang dominan dipakai petani masih ketinggalan, dan tentu memerlukan intervensi pemerintah guna pengembangan bibit yang unggul.

Dari sisi teknologi pertanian, menurut Harry Is Mulyana (Periset di Badan Nuklir Nasional)—yang meneliti kedelai sejak 1982—Indonesia telah memadai dari ketersediaan benih unggul. Hingga kini kita telah memiliki enam varietas kedelai unggulan yang sudah diujikan di 23 provinsi. Bahkan, penemuan Harry terakhir membuktikan bahwa ada satu varietas kedelai Mutiara I yang memiliki berat rata-rata 23, 3 gram per 100 biji (unggul di atas kualitas kedelai Amerika). Dan mempunyai rendemen tahun mencapai 373,3 persen dan rendemen tempe sebesar 193,3 persen.

Artinya, setiap 1 kg kedelai Mutiara I bisa menghasilkan 3,77 kg tahu dan 1,933 kg tempe. Sedangkan kalau kedelai impor, hanya mencapai 332 persen rendemen tahu dan 188,3 persen untuk rendemen tempe. Bahkan, hasil tertinggi dari varietas Mutiara I ini adalah 2,43 ton per hektar (bandingkan dengan Brasil yang hanya 2,5 ton per hektar).

Selain variates kedelai Mutiara I, kita juga memiliki varietas Raja Basa yang berhasil dipanen di Maros (Sulawesi Selatan) dan di Jambi, dengan kapasitas 4 ton per hektar. Artinya, masalah kualitas produksi kedelai nasional memang sungguh-sungguh adalah persoalan niat baik serta kesungguhan dari pemerintah saja. Karena secara teknologi penelitian bibit unggul sudah dihasilkan, yang dibutuhkan kini adalah pemerintah untuk mengolah dan mendistribuskannya kepada petani kedelai. Tunggu apa lagi?

Di bagian lain, lahan yang dibutuhkan guna memenuhi tujuan swasembada kedelai nasional hanya berkisar 500.000 hektar lagi. Ini mengingat munculnya keterbatasan lahan pertanian kedelai akibat pengalihfungsian lahan yang terjadi secara seporadis selama ini. Setiap tahun lahan pertanian kita menyusut 100.000 hektar pertahun, namun hanya ada tambahan lahan baru 100.000 hektar per lima tahun. Artinya, menyusutnya lahan pertanian tidak sebanding dengan pembukaan lahan baru setiap tahunnya. Hingga kini lahan untuk pertanian kedelai hanya tertinggal 600.000 hektar. Padahal luas ideal lahan yang dibutuhkan guna penyediaan kebutuhan kedelai nasional adalah 1,2 juta hektar.

Habisnya lahan untuk produksi pertanian telah diketahui oleh pemerintah. Sayangnya, hingga kini upaya mengatasi masalah kekurangan lahan ini belum juga maksimal. Indonesia memiliki 7,2 juta hektar yang berpotensi untuk dikembangkan. Akan tetapi, sampai hari ini hasil olah lahan yang dilakukan Kementan baru berkisar 13.000 hektar. Artinya, masih ada jutaan lahan lagi yang menunggu untuk diolah dan dikembangkan demi pengembangan kepentingan pertanian kita.

Sebagai satu kesatuan sistem (T. Parson, 1951), terdiri dari sub-sub sistem yang terhubung secara fungsional, kinerja aparatus negara sangat berkait satu dengan lainnya. Kinerja salah satu sub-sistem akan berpengaruh terhadap kinerja sub-sistem lainnya, dan akhirnya terhadap kinerja sistem secara keseluruhan.

Kinerja aparatus pemerintahan dalam kaitan dengan penanganan krisis kedelai hari ini juga tidak lebih demikian. Dalam mengatasinya kita juga tidak bisa berharap pada satu sub-sistem saja. Sebagai satu kesatuan sistem pemerintahan, yang dibutuhkan guna menyelesaikan masalah ini secara jangka panjang adalah adanya satu gerak langkah dalam bentuk koordinasi dan kerja sama antar Kementan, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) guna perumusan langkah-langkah strategis serta tujuan sebagai tanda capaian bersama.

BPN berperan mefailitasi dan memudahkan pembukaan tanah garapan baru, Kementan mendorong dan mefasilitasi kemudahan petani kedelai mengakses—melalui distribusi—berbagai sarana (bibit unggul kedelai) untuk berkembang, sedangkan kementerian PU melakukan peremajaan—mengingat 52 persen dari 3000 jaringan irigasi mengalami kerusakan—jaringan irigasi dan membentuk aliran baru demi penyokong proses pertanian tersebut.

Sinergisitas yang terbangun ini sudah pasti berdampak luas bagi kesejahteraan petani kedelai di masa mendatang. Dengan begitu, tindakan-tindakan reaktif dan solusi instan menghadapi krisis kedelai seperti hari ini tidak perlu lagi ada.

19 April 2012

Menakar Keproporsionalan UN

Gambar 1: Artikel di Koran SP
Ujian Nasional (UN) untuk Sekolah Menengah Atas (SMA/SMK) akan berlangsung 16-19 April 2012. UN ilegal setingkat SMA ini akan diikuti oleh 2.580.446 Siswa dari 11.000 sekolah SMA, 6.000 MA, dan 9.000 SMK. Untuk tingkat SMP akan dilaksanakan pada 23-26 April dan SD 7-9 Mei 2012. Padahal, selain dari sisi hukum UN adalah inskonstitusional, infrastruktur pendidikan Indonesia juga masih jauh dari memadai.
Status hukum UN sebagai ilegal dimulai sejak akhir Mei 2007, di mana Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan warga negara (citizen lawsuit) mengenai UN dan pelaksanaannya yang dianggap tidak adil. 6 September 2007 Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan itu. Dua tahun kemudian, pada 14 September 2009, Mahkamah Agung (MA) kembali mengukuhkan putusan tersebut dengan menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah.
Putusan institusi peradilan menilai bahwa pemerintah telah lalai memberikan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya hak pendidikan dan hak anak, yang menjadi korban UN. Pemerintah juga dianggap belum mampu meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana, sekaligus akses informasi yang lengkap di seluruh daerah.
Kata lain, putusan hukum tersebut melarang pemerintah melaksanakan ujian yang bersifat penentu kelulusan siswa sebelum semua penunjang pendidikan yang berkualitas disediakan secara sama dan merata. Tetapi sayang, pemerintah memilih melanggar hukum dengan tetap melaksanakan UN pada tahun 2008, 2009, 2010, 2011, dan tahun 2012 ini.
Menjelang pelaksanaan UN tahun 2012, kontroversipun kembali mengemuka. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, mengingatkan bahwa, dengan putusan MA itu, penyelenggaraan UN di lembaga pendidikan formal sekolah dasar hingga sekolah menengah atas (SMA) inkostitusional. Hal tersebut dikatakannya pada acara tatap muka dengan Education Forum dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (08/03/2012).
Bahkan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 09 April 2012 juga telah mengeluarkan teguran (aanmaning) terhadap Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nasional Muhammad Nuh karena dianggap melalaikan putusan Mahkamah Agung. Akan tetapi, bagi Muhammad Nuh pelaksanaan UN sudah bersifat final, karena tidak ditemukan ada pesoalan baik dar sisi hukum maupun politik  (SP, 09/03/2012).
Salah satu alasan publik menolak adanya UN sebagai penentu kelulusan siswa adalah karena pemerintah belum mampu menyediakan guru dengan kompetensi baik, termasuk menyangkut ketersediaan gedung sekolah, laboratorium, dan perpustakaan memadai secara merata di seluruh wilayah Indonesia. Keberatan publik itu terbukti dengan adanya hasil uji kompetensi awal (UKA) terhadap guru yang dilakukan pemerintah.
Tahun 2012 standar kelulusan bagi siswa SMA ditetapkan 5,50 dan nilai akhir tiap-tiap mata pelajaran paling rendah 4,00. Artinya, siswa yang tidak memiliki nilai ujian sesuai standar dinyatakan tidak lulus. Penetapan standar bagi kelulusan siswa ini amat kontras dengan kapasitas guru di Indonesia secara nasional. Kualitas kompetensi guru Indonesia umumnya masih buruk, bahkan berada di bawah standar kualitas yang ditetapkan sebagai syarat bagi kelulusan siswa di atas.
Hasil UKA guru yang dilakukan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terhadap 281.016 guru menunjukan bahwa rata-rata kualitas mereka berada pada angka 42,25 dari skala 100. Ada 337 kabupaten/kota yang kualitas gurunya berada di bawah nilai 42,25, dan hanya 154 kabupaten/kota yang memiliki nilai kompetensi di atas 42,25. Itu pun hanya ada 10 Kota/Kabupaten yang memiliki nilai memadai, dan paling tinggi hanya menyentuh angka 56,41 (Blitar), diikuti 55,88 (Sukambumi), 55,41 (Gresik), 53,71 (Malang), 53,63 (Jembrana), 53,62 (Magelang), 52,49 (Surakarta), 52,30 (Pasuruan).
Sedangkan 10 Kota/Kabupaten dengan kompetensi guru dengan nilai terendah ada pada Kepulauan Mentawai (26,60), 26,80 (Dogiyai), 28,37 (Barito Utara), 28,40 (Morotai), 29,97 (Lampung Barat), 30,00 (Intan Jaya), 30,28 (Nias Selatan), 30,34 (Gunung Mas), 30,64 (Buru Selatan), 30,68 (Halmahera Timur). Bahkan, pada konteks propinsi, hanya DIY Yogyakarta lah yang mampu mencapai nilia kualitas guru 50,01 sedangkan 33 Propinsi lainnya berada pada angka yang memprihatinkan (SP, 19 & 20-03-2012).
Melihat nilai rata-rata kualitas guru kita yang berada pada angka 42,25, dan hanya satu propinsi yang secara umum mampu mencapai nilai 50.01, apakah tepat dan adil jika siswa yang lahir dari asuhan mereka lantas dipatok harus memenuhi nilai 5.50 untuk lulus? Berkaca dari hasil UKA di atas, nampaknya alasan pemerintah untuk tetap melaksanakan UN sebagai penentu kelulusan sesungguhnya runtuh karena tidak rasional.
Menakar Keproporsionalan UN
Masyarakat yang menolak pelaksaan UN sebagai penentu kelulusan siswa memiliki alasan yang rasional. Selain karena konteks kualitas sistem pendidikan (sumber daya guru dan infrastruktur pendidikan) kita yang memang beragam di masing-masing daerah, dalam konteks lebih sempit karena potensi siswa juga berbeda antara satu dengan lainnya.
Menurut Psikolog Howard Gardner, kecerdasan manusia itu terdiri dari delapan jenis, yakni kecerdasan linguistik, kecerdasan logik matematik, kecerdasan visual, kecerdasan musik, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan kinetik, kecerdasan naturalis. Dan masing-masing siswa memiliki kecerdasan dominan, yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini menunjukan bahwa potensi dan kemampuan masing-masing siswa adalah kompleks, maka amat takabur jika  kemampuan seseorang itu coba dipotret dengan menggunakan satu sistem ujian yang bersifat digeneralisasi atau pukul-rata.
Artinya, selain kaitan masalah kualitas guru yang beragam, dan itu telah dibuktikan melalui hasil UKA, UN juga bermasalah dari sisi kepentingan siswa. UN yang me-nasional nampak bermasalah, sebab mensyaratkan adanya keseragaman akademik siswa. Padahal, potensi siswa, bakat, dan orientasi akademis mereka jelas beragam yang mustahil diseragamkan.
Selain itu, secara sosial pelaksanaan UN membutuhkan keseragaman dari berbagai sisi, misalkan, dibutuhkan kompetensi guru, fasilitas, dan ketersediaan buku ajar yang harus setera secara kualitas dan kuantitas, dan itu mustahil mampu disediakan oleh pemerintah. Karena faktanya, pada konteks penyediaan kualitas guru secara memadai saja, pemerintah Indonesia masih dicap lalai oleh peradilan bahkan nampak tidak sanggup memenuhinya.
Gambar 2: Bagian dari Artikel
Menurut John Dewey (1966), sekolah adalah institusi terkemuka dalam penciptaan masyarakat yang bersatu dan demokratis. Karena itu, pendidikan sejatinya membawa orang menjadi bebas dari kungkungan yang mengerdilkannya. Pendidikan harus memberi jaminan bahwa seseorang pasti bebas dalam menentukan pilihan-pilihan yang diminatinya; tanpa ada paksaan dari luar yang berpotensi menindas dirinya. Di bagian lain, bagi H.A. R. Tilaar (2005), ada waktunya di mana pendidikan seseorang memang ditentukan oleh keluarga (masa kanak-kanak), kemudian masyarakat, namun akan tiba waktunya dimana pendidikan harus ditentukan oleh dirinya sendiri.
Artinya, pendidikan yang baik adalah sistem pemanusiaan manusia yang pada akhirnya harus memberikan ruang dan membawa siswa ke dalam kebebasan dari kungkungan sistem yang menindasnya. UN yang diterapkan hari ini telah menekan potensi unik siswa. Bahkan, cenderung memusnahkan pilihan-pilihan yang seharusnya diambil oleh siswa dalam mengembangkan dirinya.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya UN yang tahun 2012 ini menghabiskan anggaran negara Rp600 miliar itu tidak dijadikan sebagai ajang penentu masa depan siswa. Cukuplah hasil UN ini ditempatkan sebagai sarana pemetaan (sensus) kualitas pendidikan nasional (kualitas sekolah di masing-masing daerah), demi kepentingan intervensi kebijakan pemerintah.
Jangan lagi pemerintah bersikap munafik dengan terus mengembar-gemborkan agar masyarakat Indonesia taat hukum (bahkan harus jujur dalam mengikuti UN), padahal di sisi lain pemerintah malah menjadi pelanggar hukum aktif. Karena selain hal itu jelas mencoreng wajah pemerintah, pelanggaran atas putusan hukum yang dilakukan secara sengaja jelas adalah tidak etis bahkan menyedihkan.
**Tulisan ini telah dimuat pada Kolom Opini Suara Pembaruan 18 April 2012 (di sini). Karena dirasa perlu, maka dibagikan kembali.

19 Maret 2012

Sistem Weberian & Budaya Paternalistis


Gambar: Birokrasi
Pemerintah Indonesia telah gagal secara kontekstual mengelola birokrasi. Institusi itu pun terjerumus dalam beragam masalah kontempoler.
Pertama adalah masalah obesitas atau kelebihan tenaga birokrat. Menurut Menteri PAN dan RB, Aswar Abubakar, tercatat Indonesia memiliki 4.708.330 Pegawai Negeri Sipil (PNS). Jumlah ini belum termasuk PNS TNI dan PNS Polri. Padahal, Indonesia hanya membutuhkan sekitar 3 juta PNS.
Itu artinya, ada 1.7 juta PNS yang tidak diperlukan, namun direkrut. Mereka tidak memiliki beban kerja tetapi setiap bulan negara harus membiayainya. Maka, adalah rasional jika hari ini penghentian penerimaan PNS diberlakukan. Bahkan, bila perlu dan seharusnya, pemerintah membuka penerimaan kembali ketika memang ada kebutuhan untuk itu.
Kedua, 95 persen PNS kita adalah birokrat tanpa keahlian khusus dan hanya 5 persen PNS yang memiliki kompetensi spesifik (Suara Pembaruan, 06/03/2012). Tentu ini menjadi ironi, sebab salah satu ciri birokrasi adalah adanya pembagian kerja di dalamnya yang didasari oleh kompetensi khusus. Karena tanpa keahlian itu, tak mungkin seorang birokrat bisa mengambil bagian (bekerja sama) dalam mencapai tujuan-tujuan bersama melalui birokrasi.
Munculnya dua masalah di atas menunjukan ada persoalan sistemik, khususnya perekrutan yang selama ini dilakukan. Penerimaan yang seharunya berdasarkan kebutuhan kerja serta dengan tuntutan kompetensi tertentu, nampaknya tidak menjadi dasar utama penerimaan pegawai.
Kecurigaan kita mengarah pada dua kemungkinan, mengapa penerimaan PNS tidak berjalan sesuai dasar rasional birokrasi; pertama, karena ketiadaan data yang jelas mengenai jumlah pegawai serta pembagian tugas untuk mengukur kebutuhan, akibatnya penerimaan PNS sekadar program rutin tahunan; kedua, adalah akibat kebijakan politik populis yang dilakukan pejabat di daerah demi menarik dukungan, sekadar bagi-bagi jabatan kepada koleganya, dan untuk mengurangi pengangguran.
Selain masalah di atas, kajian Agus Dwiyanto (2011) juga mengidentifikasi suburnya bentuk birokrasi paternalistik di Indonesia. Kuat dugaan, munculnya biroktasi tipe ini sebagai konsekuensi interaksi antara konsep birokrasi Weberian dengan budaya paternalistis yang umum dianut masyarakat Indonesia. Konteks ini pula yang turut memengaruhi timbulnya beragam patologi birokrasi, termasuk seperti yang muncul di awal tulisan ini.
Interaksi sosial-budaya & birokrasi
Pada tataran tertentu, pembicaraan kita tentang birokrasi tidak bisa mengabaikan konteks sosial-budaya, tempat dimana birokrasi itu berada. Ini tak dihindari, sebab birokrasi lahir dan berkembang dalam konteks sosial masyarakat tertentu. Dengan kata lain, dinamika birokratisasi (proses membangun dan mengembangkan birokrasi) erat kaitannya dengan konteks. Maka, upaya birokratisasi yang mengabaikan lingkungan sosial, diyakini tidak akan mencapai tujuannya.
Konsep Weberian—hasil pikir Max Weber—umum dikenal dengan ciri ideal birokrasi: adanya formalisasi aturan dan prosedur; hirearki yang panjang; spesialisasi kerja; dan impersonal. Semua prinsip ini hendak membentuk birokrasi yang efisien, rutin, dan non-partisan. Weber menyakini bahwa administrasi pemerintahan bisa berjalan memadai jika institusi yang ada menyerupai kerja sebuah mesin (Morgan, 1986). Untuk mencapai itu diperlukan meritokrasi, pembagian kerja secara spesifik yang saling terkait dalam satu hirearki dan prosedur.
Secara umum, penerapan konsep birokrasi Weberian dianggap berhasil di masyarakat Barat. Patologi yang ditimbulkan tidak separah yang ada di Indonesia. Keberhasilan terjadi karena adanya dukungan kultur mereka yang (dominan) rasional; memiliki demokrasi yang mapan; serta adanya kelompok masyarakat sipil yang kuat (Agus Dwiyanto, 2011: 63). Bahkan, bisa dikata birokrasi Weberian merupakan hasil interaksi dan atau anak kandung budaya Barat.
Mengatakan masyarakat Barat memiliki unsur budaya positif, tidak lantas kita mengurangi hal-hal buruk yang mereka miliki, pun tidak hendak mengangung-agungkan kultur (baik-buruk) yang ada di Indonesia. Bukan itu yang ingin diwacanakan. Yang hendak diketengahkan adalah, bahwa birokrasi Weberian bisa berkembangan dengan baik di Barat karena memang ada unsur dalam budaya masyarakatnya yang menunjang hal itu. Sebaliknya, hal ini akan sangat berbeda dengan konteks masyarakat kita.
Indonesia memiliki beragam kearifan lokal. Ada yang secara relatif (bergantung konteks) dikata baik maupun dianggap jelek. Salah satu budaya dominan di Indonesia adalah budaya paternalistis: yang mengajarkan memperlakukan orang atas dasar keturunan dan loyalitas. Budaya ini ternyata berpengaruh signifikan pada birokratisasi di Indonesia. Bahkan, menyebabkan sistem Weberian yang nampak baik itu mengalami banyak kendala untuk diterapkan.
Sebagai contoh. Pertama, prinsip hirearki. Pada konteks masyarakat Barat, di mana gagasan Weber ini tumbuh, konsep hirearki bisa diterapkan tanpa ada masalah yang akut. Sistem budaya masyarakat yang menghargai orang atas dasar prestasi kerja membuat bawahan tidak kuatir dengan karirnya. Mereka bisa bekerja tanpa harus menjadi penjilat atasan. Masa depan mereka tidak ditentukan oleh atasan, namun oleh sistem kerja.
Gambar 2: Hirearki birokrasi
Birokratnya pun loyal terhadap visi institusi dan itu cukup membuat mereka dihargai dan mendapat promosi jabatan. Loyalitas bukan ditujukan kepada atasan, bukan pula mereka hadir untuk melayani atasan, pun sebaliknya mereka direkrut dan bekerja demi visi lembaga. Pada konteks birokrasi, pegawai direkrut untuk melayani masyarakat. Mereka bertanggung jawab kepada publik dengan memberikan layanan yang maksimal dan memuaskan. Kalaupun ada kontrol dari atasan, mekanisme yang ada berlaku, sehingga hal itu dilakukan secara baik dan tidak berdasar semaunya atasan.
Sistem hirearki, yang dimaksudkan untuk proses membantu pimpinan melakukan supervisi dan kontrol, dalam praksisnya di Indonesia ternyata melahirkan kebergantungan bawahan terhadap atasan. Penilaian kinerja seorang bawahan secara subyektif ditentukan oleh atasan. Sistem penilaian atas dasar kinerja tidak berlaku. Akhirnya, birokrat dibentuk menjadi pelayan atasan dan bukan sebagai pelayan publik.
Saat konsep hirearki beroperasi dalam lingkungan masyarakat yang meiliki budaya paternalistis, kecendernungan pejabat birokrasi memberikan perhatian yang berlebihan kepada pejabat atasan dengan mengabaikan pelayanan kepada masyarakat justru memperloleh justifikasi kultural (Dwiyanto, 2011: 65). Peranan atasan langsung dalam penilaian kinerja menjadi sangat penting, sehingga pejabat birokrasi lantas menunjukan prilaku asal bapak senang (ABS). Pejabat bawahan hanya melaporkan hal-hal baik dan menyenangkan atasan dengan menciptakan distorsi informasi.
Hal buruk lainnya, akibat interaksi konsep hirearki dengan budaya paternalistis, sebagian kalangan birokrat dengan posisi tertentu mengangkat orang terdekatnya, teman seperjuangan dalam politik, menjadi pegawai negeri atau memberikan jabatan tertentu sebagai bentuk kompensasi loyalitas. Politik balas budi pun lantas membanjiri birokratisasi di Indonesia.
Kedua, prosedur dan aturan. Bagi pengguna layanan, prosedur yang tertulis dan rinci sebenarnya menguntungkan. Prosedur akan mempermudah pengguna memahami hak dan kewajibannya dalam memperoleh akses pelayanan. Di sisi yang lain, kalangan birokrat akan tertolong, sebab hal itu membantunya sebagai petunjuk dalam memberikan layanan. Bahkan, silang kontrol antar pengguna layanan (warga negara) dan pelayan publik bisa terjadi dengan dasar prosedur dan aturan tertulis ini.
Pada konteks masyarakat Barat yang memiliki masyarakat sipil yang kuat, fungsi kontrol bisa berjalan maksimal. Iklim demokrasi membuat masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi dalam memahami hak-haknya. Andai ada pelayanan yang melanggar hak, dengan mudah mereka melakukan protes, dan di saat yang sama segera mendapat respon dari pemberi layanan. Para pemakai layanan tidak sunggan (malu) mengkritik layanan publik yang dianggap melanggar. Ini dimungkinkan, sebab iklim demokrasi mapan telah mendorong kedewasaan publik, sehingga mereka tidak mengkultuskan pejabat atau menghormati birokrat secara perlebihan.
Kalangan birokrat juga tidak mendasarkan tindakannya pada berbagai pertimbangan subyektif (dengan melihat siapa yang mereka layani). Hal ini membuat layanan publik dengan prosedur justru menolong mereka, membuat lebih efisien dan efektif. Prosedur yang jelas membuat birokrat lebih leluasa, mereka bisa mengambil keputusan.
Pada konteks Indonesia, penerapan prosedur dan aturan justru menjadi celah korupsi. Selain karena interaksi dengan budaya paternalitis, prosedur yang panjang juga melahirkan masalah karena kontruksi birokrasi masih bernuansa Kolonial Belanda. Birokrasi dalam kerangka Kolonial adalah mesin pengontrol—bahkan cenderung menjadi penindas—rakyat. Birokrasi adalah kepanjangantangan negara (Belanda) untuk mengawasi perilaku masyarakat. Semangat saling tidak percaya ini masih nampak secara praktis dalam relasi antara birokrasi dengan rakyat. Akibatnya, prosedur yang panjang dan rumit itu diterima dan dianggap wajar sebagai bentuk pengawasan.
Prosedur yang panjang ini lantas membuka celah korupsi, karena sebagian birokrat kerap memanfaatkannya. Birokrat mau memberikan layanan tepat waktu, sejauh ada opportunity cost dari pengguna layanan. Masyarakat tentu lelah dengan prosedur yang panjang itu. Mereka tidak memiliki pilihan, selain memberikan kompensasi. “Lingkaran setan” suap-menyuap pun dimulai. Karena tanpa strategi “jalan pintas” ini, berkas akan lama diproses dan urusan menjadi rumit dan berlarut. Pada konteks ini, lahirlah budaya birokrat yang hanya melayani orang kaya dan yang mau memberikan sogokan. Budaya paternalitis pun mendapatkan justifikasinya.
Pada konteks masyarakat Barat yang individualistik, rasional, menghargai orang atas dasar prestasi, demokrasi yang mapan, penerapan konsep birokrasi Max Weber tidaklah soal. Budaya masyaraktanya mampu menjadi sensor yang efektif bagi pelayanan publik. Sistem Weberian mendapatkan topangan konteks sosial-budaya masyarakt. Hal ini berbeda dengan konteks Indonesia, di mana budaya paternalistis itu tumbuh subur. Maka, harus ada upaya yang lebih sistemik dan fundamental untuk merespon masalah patologi birokrasi kita hari ini.
Minimal ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan. Pertama, terus mendorong birokratisasi dengan sistem Weberian yang diterapkan saat ini. Itu artinya, kita harus siap sedia mendorong demokrastisasi, membuat masyarakat kian individualistik, rasional, dan mengupayakan tumbuhnya masyarakat sipil yang kuat. Namun, di sisi lain, kita juga harus mau menikmati berbagai benturan budaya, serta menerima beragam kemungkinan tumbuh dan mapannya berbagai patologi di birokrasi.
Kedua, mencari alternatif bentuk dari organisasi palayan publik di luar konsep Weberian: birokrasi. Artinya, bisa saja organisasi penyedia layanan publik di Indonesia itu tidak berbentuk birokrasi, dan dengan ciri serta substansi yang berbeda dengan konsep Weberian. Hal ini bisa dilakukan dengan kita menilik kembali berbagai lembaga lokal—semisal Nagari di Sumatera Barat, Gampong di Aceh, serta Pakraman dan Subak di Bali—yang ada di tengah masyarakat kita, lalu mempromosikannya sebagai bentuk organisasi layanan publik. Konsekuensinya, masing-masing daerah, kabupaten, atau desa memiliki bentuk lembaga layanan publik yang dari sisi bentuk, substansi, dan mekanisme kerja bisa berbeda-beda.
Ketiga, mendesain ulang konsep Weberian agar lebih akomodatif terhadap konteks budaya paternalistik kita, termasuk beragam kebudayaan Indonesia yang lain, semisal kekeluargaan. Hidupnya budaya paternalistis menandakan bahwa ada hal baik dari budaya ini. Walaupun, pada interaksi dengan konsep birokrasi Weberian banyak negatifnya, namun saat masyarakat tetap memeliharanya, menandakan ada unsur manfaatannya dari budaya paternalistis. Karena terbukti ada faedahnya, menjadi tak soal kalau sistem birokrasi kita didesain bersesuaian dengan budaya tersebut.
Masalah birokrasi yang muncul hari ini tidak lepas dari kegagalan pemerintah mengkontekstualisasikan dan mengola penerapan konsep birokrasi Max Weber. Hal itu melahirkan beragam masalah, termasuk “obesitas” dan minimnya PNS ahli di lembaga layanan publik hari ini. Untuk itu, upaya mengatasi beragam patologi birokrasi harus lebih sistemik dan fundamental. Tanpa perubahan yang demikian, birokrasi kita akan terus berkutat pada berbagai “penyakit” yang sama, tanpa sanggup  beranjak menjadi agen perubahan dan transformasi masyarakat.

Sumber gambar: 
1. http://blog.abhinav.com/india-most-ineffective-bureaucracy-in-asia/
2. http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/06/03/118187-indonesia-juara-kedua-birokrasi-tak-efisien-se-asia