Tampilkan postingan dengan label Politik Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Politik Hukum. Tampilkan semua postingan

4 Desember 2013

Putusan Angie: Keberanian yang Beresiko

Keberanian Majelis Hakim Kasasi Mahkamah Agung (MA) memberatkan hukuman Angelina Sondakh (koruptor berparas cantik itu), adalah putusan berani. Ini merupakan vonis hukum yang merefleksikan keadilan publik. Hal tersebut tentu menyakitkan hati terpidana dan menyentak batin pelaku korupsi lainnya. Kepolisian perlu segera memberi jaminan keamanan terhadap semua hakim.

Angie—sapaan akrabnya—dihukum 12 tahun penjara dan wajib membayar uang pengganti senilai Rp 12.580 miliar dan UDS 2,350 juta (Rp 27,4 miliar). Kalau tidak membayar, maka diganti dengan kurungan 5 tahun penjara. Padahal, di tingkat pengadilan sebelumnya, Angie hanya divonis 4,5 tahun penjara dan tanpa uang pengganti (SH, 23/11/2013).

Kita membutuhkan putusan hukum tegas dan memberatkan agar mereka yang ingin korupsi berpikir ulang. Apalagi kalau ancaman hukumnya adalah pemiskinan. Meskipun teror dan ancaman keamanan ada di depan mata, kita berharap para hakim terus maju dan berani membuat jerah para perampok uang rakyat itu.

Artikel di hal. 16 Malut Post (Versi Cetak, 04/12/2013)
Keamanan hakim
Untuk itu, perlu barangkali keamaman para hakim agung ini diperhatikan. Seturut dengan semangat pemberantasan korupsi yang kian gencar di negeri ini, maka keamanan penegak hukum pada lingkungan pengadilan negeri harus pula mendapat perhatian serius.

Bukan saja hakim agung, namun pengadil di semua tingkatan, perlu diberikan fasilitas penuh untuk aspek penting ini. Tanpa jaminan keamanan yang memadai, indepedensi hakim dalam memutus berpotensi bias kepentingan karena dihantui rasa ketakutan atas ancaman. Keamanan perlu diberikan kepada mereka, baik pribadi maupun kepada keluarga terdekatnya.

Dari catatan, ancaman kekerasan terhadap hakim sudah sering terjadi. Pada tahun 2008, misalnya, majelis hakim kasus korupsi mendapat teror. Ketika itu, tiga hakim Tipikor Jakarta diikuti oleh orang berbadan tegak (kompas, 19/08/2008). Juli 2013 gedung Pengadilan Negeri (PN) Gorontalo diberondong peluru yang merusak mobil seorang hakim.

Begitu juga pada September 2013, salah satu ormas merusak gedung serta memaksa Pengadilan Negeri Depok melaksanakan putusan. Bahkan, yang lebih mengenaskan adalah kejadian pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita pada 26 Agustus 2001. Kuat dugaan penembakan Syafiuddin terkait erat dengan kasus korupsi yang ditanganinya.

Artidjo Alkostar pernah menjadi anggota majelis ketika Kartasasmita adalah ketua panel sidang dalam beberapa kasus korupsi penguasa Orde Baru (news.liputan6.com, 30/07/2001). Pada kasus Angie ini, Alkostar tampil sebagai ketua majelis hakim. Dia telah dikenal sebagai hakim yang berani menjatuhkan vonis memberatkan terhadap terdakwa kasus korupsi. Sebagai contoh, bersama dengan MS Lumme dan Mohammad Askin, Alkostra menjatuhkan hukuman kasus Tommy Hindratno (pegawai pajak), dari 3 tahun 6 bulan menjadi 10 tahun penjara. Begitu pun pada kasus Zen Umar, Alkostar ikut memperberat hukuman Direktur PT. Terang Kita itu dari 5 tahun menjadi 15 tahun penjara. Alkostar juga menjadi hakim yang menjatuhkan vonis hukum Anggodo Widjojo, yang semula 5 tahun menjadi 10 tahun penjara.

Artinya, kiprah Alkostar termasuk para hakim agung lainnya berpotensi membuat terpidana korupsi sakit hati. Terbuka kemungkinan mereka melakukan upaya balas dendam. Mengantisipasi hal itu, dukungan keamanan terhadap hakim harus segera diperketat. Sesuai dengan UU No. 3 Tahun 2009 Tentang Peradilam Umum Pasal 25 Ayat 5 dan PP No. 94 Tahun 2012 Tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Yang Berada Di Bawah Mahkamah Agung (Pasal 7), penanggungjawab utama keamanan hakim dan keluarganya adalah pihak Kepolisian.

Pada tahun 2001, setelah kejadian penembakan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, keamanan terhadap hakim agung ternyata berjalan seadanya. Wakil Ketua Mahkamah Agung H. Taufiq (waktu itu) disebut-sebut tidak mendapat pengawalan khusus sama sekali dari pihak Kepolisian. Padahal, pembunuhan tersebut adalah teror terbuka terhadap kiprah hakim agung. Bahkan, Alkostar, sebagai salah satu hakim, juga pergi-pulang kantor dengan menggunakan bajaj tanpa ada pengawalan.

Kita berharap kini pemberian fasilitas keamanan terhadap hakim agung MA, termasuk kepada hakim lainnya, sesuai aturan telah diberlakukan. Kalaupun belum, kita meminta agar pihak Kepolisian segera melakukannya. Dengan begitu para hakim itu tetap leluasa menjalankan tugas. Bahkan makin berani memberikan vonis hukum tegas serta memiskinkan siapapun yang telah terbukti melakukan korupsi.

7 Maret 2013

Jangan Mau "Dibeli"

Sedikitnya terdapat 290 kepala daerah tersangkut masalah hukum. Dari 290 itu, sebanyak 86,2 persen di antaranya menjadi tersangka, terdakwa, dan terpidana karena melakukan korupsi. Keseluruhan kepala daerah di Indonesia sekarang ada 524, artinya ada separuh (50 persen) pemimpin daerah di Indonesia yang terjerat kasus korupsi (Kompas, 6/2/2013). Kita pun tentu sukar berharap ada pembangunan yang efektif menuju kesejahteraan jika kondisi ini terus terjadi.

Korupsi ditengarai terjadi lantaran tingginya dana kampanye yang harus dikeluarkan oleh calon kepala daerah. Ada banyak faktor sebab tingginya “pengeluaran” tersebut, di antaranya karena wabah politik uang (membeli suara); masyarakat disuap untuk memberikan suara kepada kandidat yang memberikan uang, di samping karena biaya mendongkrak popularitas melalui iklan dan publikasi. Kasus “beli suara” sesungguhnya adalah cerminan bejatnya etika politik sang kandidat, juga menandakan betapa lemahnya masyarakat kita dalam berpolitik.
Artikel di hal. 16 Malut Post (Versi Cetak, 07/03/2013) 

Pada praksisnya—ketika momen pemilihan tiba—cara politik “busuk” ini dianggap biasa, diterima secara masif sebagai bentuk politik wajar. Semua elemen masyarakat seakan-akan merestui bahkan “merayakan” berlangsungnya politik uang tersebut. Tak jarang sang kandidat akan dimintai uang oleh masyarakat yang didatanginya.

Penyesalan publik akan muncul ketika tidak ada perubahan apa-apa yang dirasakan selama sang pemimpin terpilih menjabat. Masyarakat akan segera beraksi jika mendapati tiadanya pembangunan, padahal anggaran daerah setiap tahun mengalami peningkatan. Sang pemimpin terpilih pun pasti ikut dicela tatkala terseret kasus korupsi. Masyarakat seakan lupa bahwa terjeratnya sang pemimpin adalah dampak dari politik uang yang pernah “direstuinya”.

Jika kondisi itu yang terjadi, maka mestinya masyarakat harus berani memaklumi tindakan korup kepala daerah. Kekorupan sistemik yang terjadi tidak lepas dari kontribusi aktif masyarakat. Apalagi, jika dalam keseharian masyarakat berperilaku cuek dengan politik dan ogah kritis (suka kritik jika perlu) demi bersihnya pemerintahan.

Pada alam demokrasi, peran masyarakat (warga) adalah signifikan jika tidak dikata penentu. Peran tersebut tidak sekedar menyangkut berperilaku politik etis dalam proses pemilihan, namun harus berlanjut pada sikap aktif dan kritis dalam penyelenggaraan pemerintahan berlangsung. Absennya perilaku berpolitik etis masyarakat dan tiadanya sikap kritisi tersebut akan berdampak pada mewabahnya prilaku korup dalam sistem kekuasaaan. Proses demokrasi yang ada pun tidak akan mampu melahirkan pemimpin, sebaliknya hanya akan memunculkan penguasa korup yang “menghisap” kesejahteraan publik.

Maluku Utara (Malut), diakui atau tidak, merupakan salah satu wilayah yang pemimpin daerahnya terseret kasus korupsi. Gubernur Malut Thaib Armaiyn dan Muhammad Kasuba (Bupati Halmahera Selatan) adalah tergolong dalam 290 kepala daerah yang terkena kasus korupsi. Artinya, harus diakui bahwa proses berpolitik masyarakat Malut yang dewasa dan mampu melahirkan pemimpin daerah bersih serta amanah, masih harus diupayakan. Masyarakat Malut perlu terus mendorong diri untuk dewasa dalam berpolitik, sehingga kelak tidak lagi mendudukan mereka yang berpotensi korup sebagai pemimpin.

Pertengahan tahun ini (Juli 2013) Pemilihan Gubernur Malut akan dilangsungkan. Terdapat beberapa orang yang berwacana akan maju mencalonkan diri. Di antara mereka ada yang sudah dikenal, baik karena kerap terkena kasus pukul-memukul, ada pula yang populer sebab sudah terlalu lama menduduki berbagai jabatan politik, atau bahkan ada yang memperkenalkan diri sebagai putra Malut dengan prestasi mampu berkarir hingga jabatan pegawai negeri pada level tertentu.

Semua bakal calon ini berhak untuk maju. Konstitusi negeri ini memberikan ruang yang luas bagi siapa saja, baik yang merasa layak maupun yang dianggap layak, untuk maju memimpin Maluku Utara kelak. Untuk itu, dan merupakan titik penting digarisbawahi serta diingat adalah, peran masyarakat dalam menentukan pemimpin harus lahir dari pertimbangan serius dan sungguh-sungguh bertanggung jawab. Masyarakat Malut harus menggunakan hak politiknya dengan menjauh dari bayang-bayang politik uang.

Masyarakat perlu mengetahui bahkan menahami rekam jejak sang calon, baik yang bersifat pribadi (integritas) maupun kiprahnya di ruang publik (selama menjadi pejabat tertentu, misalnya), sehingga memiliki alasan mendasar dalam menentukan pilihannya. Di luar itu, komitmen, visi-misi dan program masing-masing calon haruslah menjadi tolok ukur utama bagi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Sudah waktunya, bagi masyarakat Malut untuk berani memutus “benang kusut politik transaksional kotor” yang selama ini terjadi, dengan berani mengatakan TIDAK pada calon yang menggunakan “politik beli suara”. Komisi Pemiliham Umum (KPU) Maluku Utara harus mampu mefasilitasi masyarakat Malut untuk mengenal masing-masing kandidat.

Bentuk demokrasi langsung yang dianut negara ini oleh sebagian pihak dianggap melahirkan praksis pemilihan kepala daerah yang mahal dan boros. Minimal, jika dilihat dari sisi output dan dampak yang dihasilkan. 290 kepala daerah yang terkena kasus korupsi adalah hal memalukan, dan memang boros, sebab mereka lahir dari proses demokrasi langsung yang berbiaya mahal. Meski begitu, proses demokrasi yang sudah mahal itu, sesungguhnya bisa ditolong melalui sikap politik dewasa publik, yang tidak “menjual” suara politiknya, sehingga bisa menggurangi biaya yang dikeluarkan kandidat. Dengan begitu, kelak pemilihan kepala daerah yang dilakukan tidak berpotensi melahirkan pemimpin korup yang menghambat kesejahteraan publik. 

4 Oktober 2012

Menanti Kabar ”Korupsi Kapal”



Artikel di hal. 16 Malut Post (04/10/2012)

Di tengah ketidakjelasan penuntasan kasus penyimpangan penggadaan kapal Seruma 01, pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan (Pemkab Halsel) hendak mendatangkan kapal itu ke Bacan, Halmahera Selatan, untuk dioperasikan (Malut Post, 22/09/2012).

Kapal Saruma 01 adalah buah proyek penggadaan Pemkab Halsel tahun 2009, yang sarat dugaan “miring”. Penggadaan yang dituduhkan fiktif itu menggunakan dukungan anggaran Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT) sebesar Rp2,45 miliar. Akan tetapi, secara faktual, pembuatannya hanya menggunakan dana swakelola sebesar Rp500 juta. Pertanyaannya adalah: di manakah sisa dana lainnya? Kasus dugaan korupsi yang sudah ditanggani pihak Kepolisian Halsel sejak 2010 hingga kini belum menunjukan tanda-tanda akan selesai.

Selain kasus Saruma 01, Kabupaten Halmahera Selatan—tempat asal penulis—juga populer karena kasus dugaan penyimpangan penggadaan kapal Halsel Expres 01 yang dilakukan pada tahun 2006. Pada kasus ini, Pemkab yang dipimpin kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, disangkakan melakukan penggadaan tanpa persetujuan DPRD Halsel, padahal menggunakan dana daerah sebesar Rp 14,2 milliar. Negara berpotensi dirugikan sebesar Rp7,5 milliar.

Pada kasus Halsel-Expres 01, Kejaksaan Tinggi Maluku Utara (Kejati Malut) telah menetapkan Bupati Muhammad Kasuba, ketua DPRD Jusman Arifin dan Aminudin mantan Sekda Kabupaten Halsel, sebagai tersangka dugaan korupsi. Namun anehnya, tanpa alasan yang jelas pada tahun 2009 Kejati Malut mengeluarkan Surat Penghentian Penyelidikan (SP3) untuk kasus tersebut (http://daerah.sindonews.com, 06/09/2012).

Halmahera Corruption Watch (HCW), salah satu lembaga swadaya masyarakat pemerhati masalah korupsi di Malut, kemudian mengajukan praperadilan atas putusan Kejati itu. Alhasil, pada 25 Juni 2012 melalui surat putusan bernomor 01/Pid.Pra.Tipikor/2012/Ternate, Pengadilan Negeri Ternate membatalkan perintah SP3. Pada 25 Juli 2012 Kejati Malut melakukan banding ke Pengadilan Tinggi Malut, namun upaya tersebut ditolak. Dengan demikian, Kejati Malut diwajibkan segera memproses kasus dugaan penyimpangan yang telah dilakukan oleh Bupati Halsel Muhammad Kasuba dalam penggadaan kapal Halsel Expres 01.

Segera tuntaskan
Sebagai Negara hukum, sudah sepantasnya berbagai kasus dugaan korupsi di atas tidak berlarut namun penegak hukum harus segera menuntaskannya. Publik Halsel dan Malut tentu muak jika penegak hukum tidak segera memproses dan membawanya ke ruang pengadilan. Apalagi, kedua kasus tersebut secara nyata menyeret oknum pejabat publik, yang semestinya menjadi teladan bagi kepatuhan hukum. Tegaknya hukum akan menjamin kredibilitas suatu pemerintahan yang bersih dari korupsi, amanah, dan akhirnya efektif bekerja sebab mendapat dukungan dari masyarakat.

Masyarakat tentu berharap sikap negarawan dari pejabat-pejabat Halsel yang namanya tersandung dugaan kasus korupsi ini. Pertama, selayaknya mereka mengundurkan diri—untuk sementara—agar jabatan yang disandangnya selain tidak tercoreng, juga demi memudahkan penegak hukum melakukan penyelidikan. Kedua, sebagai pejabat publik yang berwatak baik dan beretika, mereka yang diduga terlibat selayaknya membuka diri dengan proses hukum yang akan dijalani, bekerja sama agar hukum yang adil dan tanpa “pandang rupa” sungguh-sungguh bisa tegak di bumi Halmahera.

Selain pentingnya kerja sama dari pejabat-pejabat yang terduga korup, Kejaksaan dan Kepolisian juga diharuskan menjalankan proses penyelidikan secara professional dan bebas dari intervensi kepentingan politik. Publik berharap kedua lembaga penegak hukum ini tidak lagi coba-coba mengabaikan tuntutan masyarakat guna menuntaskan kedua kasus itu. Bersikap abai atas tuntutan ini, Kejaksaan dan Kepolisian akan menuai perlawanan dari rakyat yang kian muak dan anti dengan perilaku koruptif pejabat publik.

Dukungan dan pengawasan masyarakat terhadap penegakan hukum yang lurus perlu terus dilakukan, mengingat adalah rahasia umum, bahwa kerap kali muncul kolusi antara elit politik lokal dan aparat hukum guna memandulkan proses hukum atas dugaan korupsi. Kecurigaan publik sesungguhnya beralasan, sebab pada konteks ini, proses hukum atas kedua kasus penggadaaan kapal tersebut sudah terlampau berlarut; berkas kedua kasus tersebut sudah bertahun-tahun terhenti “di rak meja” Kejaksaan Malut dan Kepolisian Halsel.

Akan tetapi publik Halsel harus tetap optimis terhadap penuntasan kasus dugaan korupsi ini. Adegan memalukan penangkapan paksa Bupati Buol (Sulawesi Tengah), Amran Batalipu, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu adalah alasan optimisme itu. Bahwa perlawanan dan macam-macam manuver politik seperti apapun yang dilakukan elit politik, tetapi apabila terbukti bersalah hanya menunggu waktu untuk akhirnya mendekam di bui KPK.

Seharusnya kasus memalukan Amran Batalipu menjadi peringatan keras bagi kepala daerah agar jangan coba-coba melakukan penyimpangan, termasuk untuk aparat penegak hukum supaya tidak bermain-main dalam menangani kasus dugaan korupsi. Karena jika proses hukum yang lakukan jalan di tempat, maka KPK akan turun tangan membereskannya!

Berlarutnya penyelesain kedua kasus dugaan korupsi pada penggadaan kapal oleh Pemkab Halsel tidak lepas dari belum maksimalnya kinerja penegak hukum dan karena melibatkan elit politik lokal. Pada konteks Negara hukum, kekaburan proses hukum ini adalah buruk dan semestinya tidak terjadi. Untuk itu, demi tegaknya hukum dan terciptanya keadilan publik, sudah tidak pantas lagi aparat hukum di Malut, yang bertugas menuntaskan dugaan korup ini bermain-main dalam penyelesaiannya. Segera tuntaskan kasus korupsi penggadaan kapal, agar publik Halsel dan Malut tidak terus menanti kabar korupsi kapal yang kian tidak tentu ini.

Sumber (cek hal. 16): Opini Malut Post 

17 Oktober 2011

Sang Koruptor itu Bebas! (?)

Gambar 1: Sedikit-banyak tetap korupsi
Pemberantasan korupsi di negeri ini masih menuai hasil buruk. Vonis oleh hakim terhadap koruptor masih minus ketegasan. Dunia (sistem) peradilan Indonesia harus segera berbenah. Komitmen hakim untuk memberantas korupsi pun masih harus kita pertanyakan lagi. 

Ahmad Ru’yat, terdakwa perkara korupsi APBD Kota Bogor divonis bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung. Wakil Wali Kota Non-aktif Kota Bogor ini dituding menerima uang 122 juta saat masih menjabat sebagai anggota DPRD tahun 2002. 

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini tidak sendirian, ada 32 mantan anggota DPRD lainnya. Ironisnya, 32 terdakwa lain sudah masuk bui, sedangkan Ru’yat malah dibebaskan. Ru’yat divonis bebas,  Kamis 8/9/2011. Yang juga disayangkan adalah, vonis bebas tersebut malah disambut, “pekik takbir”, demikian tulis Editorial Koran Tempo (19/09/2011).

Kasus ini menarik kita cermati, mengingat terdakwa lainnya pada kasus yang sama, yakni 32 anggota DPRD Kota Bogor periode 1999-2004, telah divonis empat tahun penjara, dan denda Rp 200 juta serta diwajibkan membayar uang pengganti Rp 120 juta oleh Pengadilan Tipikor Bandung. Bahkan, Ru’yat juga sudah mengembalikan duit korupsi yang sempat dipakainya itu, tanda dia juga koruptor! Tetapi mengapa vonis terhadap Ru’yat bisa sangat berbeda? Tanya kenapa! 

Soal vonis bebas, Ru’yat bukanlah satu-satunya. Sebelumnya, Bupati Kab. Subang Eep Hidayat dan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bandung Priana Wirasaputra juga dibebaskan oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung. Eep dibebaskan dari tuduhan korupsi upah pajak bumi dan bangunan senilai Rp 14 miliar, sedangkan Priana bebas dari dakwaan korupsi dana stimulan APBD Rp 2,5 miliar. 

Satu sistem: satu rusak, semua rusak
Pengadilan adalah salah satu bagian (sub-sistem hukum) dari sistem pemberantasan korupsi di negeri. Pengadilan memiliki fungsi serta peran penting dalam memberikan efek jera, melalui vonis yang setimpal dengan perbuatan korupsi, terhadap para penjara uang rakyat. Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Kemasyarakatan, dan KPK adalah salah satu sub dari sistem itu. Semua sub-sistem ini perlu sinergis, baik dari semangat maupun kesinambungan kinerja pemberantasan korupsi. Maksimalnya kinerja sub-sub sistem ini adalah jaminan bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi itu bisa berdampak luas: jera.

Andai ada salah satu sub-sistem penegak hukum kita yang rusak atau tidak bekerja dengan semangat yang sama, maka kinerja sub-sistem lainnya akan ikut terpengaruh. Kinerja lembaga penegak hukum lain, yang hendak memberantas korupsi akan nampak tak berdampak apa-apa dan sia-sia. Polisi, Kejaksaan atau KPK akan merasa tidak dihargai kinerjanya, kalau vonis yang dijatuhkan hakim malah membuat koruptor bersorak-ria. Vonis ringan bahkan bebas terhadap koruptor akan membuat lemah semangat pemberantasan korupsi berbagai institusi lain yang sudah bekerja secara maksimal. 

Bukan saja itu, vonis demikian juga pasti melecehkan logika hukum dan kinerja penegak hukum (Polisi, Kejaksaan, dan KPK), serta nurani keadilan publik. Padahal, sebagai bangsa kita sedang berkampanye untuk melawan korupsi. 

Benahi kinerja & tingkatkan komitmen hakim
Pengadilan Tipikor Bandung adalah salah satu sub-sistem dari lembaga peradilan di negeri ini. Baik-buruk kinerja pengadilan ini akan memberikan pengaruh terhadap kualitas kinerja peradilan negeri ini secara keseluruhan. Untuk itu, berbagai vonis bebas oleh hakim Pengadilan Tipikor Bandung ini mestinya dicermati secara seksama oleh berbagai pihak, utamanya oleh Mahkamah Agung (MA), sebab ada berbagai keganjilan di dalamnya. 

MA sebagai lembaga di atasnya harus berani menduga bahwa ada penyimpangan atau pelanggaran kode etik oleh hakim dalam pengambilan keputusan ini. Paling menyolok adalah uang korupsi dikembalikan dan kolega korupsi berjamaahnya sudah masuk bui, tetapi Ru’yat malah dibebaskan hakim. Ini tidak masuk akal! 

Lebih jauh, MA juga perlu mendorong pembenahan kinerja para hakim Pengadilan Tipikor di berbagai daerah, juga peningkatan komitmen mereka dalam soal pemberantasan korupsi. Ini mengingat korupsi adalah kejahatan luar biasa, sehingga vonis terhadap pelakunya juga mestinya di luar kebiasaan. Vonis bebas mestinya adalah haram bagi koruptor! 

Kasus vonis bebas terhadap Ahmad Ra’yut oleh Pengadilan Tipikor Bandung adalah wujud dari buruknya komitmen pemberantasan tindak pidana korupsi oleh salah sub-sistem penegakan hukum di negeri ini: pengadilan. Semoga keputusan buruk itu tidak diikuti oleh peradilan Tipikor lainnya di berbagai daerah. Cukuplah potret buruk kinerja salah satu sub-sistem (yang diwakili oleh Pengadilan Tipikor Bandung), ini terjadi. Mari segera berbenah kinerja dan komitmen demi tatanan hukum dan hidup masyarakat Indonesia yang bebas dari korupsi.

Sumber gambar: 
1. http://fahlivie.blogspot.com/2010/12/merenungi-hari-anti-korupsi-belajar.html