MENJELANG Pemilu 2009, berbagai iklan partai politik demi kepentingan
citra mulai bermunculan. Beragam format (isi) iklan pun ditampilkan.
Mulai dari iklan yang mengklaim keberhasilan pembangunan,keberhasilan penyelesaian konflik sampai pada membanding-bandingkan tingkat keberhasilan yang dicapai. Dari segi etika komunikasi politik dan dalam konteks negara demokrasi, hal ini dibenarkan dan dimungkinkan untuk dilakukan.
Akan tetapi tidak berarti juga lantas membuat kita bisa seenaknya berbicara ataupun mengklaim sesuatu tanpa diikuti oleh bukti yang kuat ataupun tanpa memikirkan dampak negatif yang akan ditimbulkan. Melihat beragam iklan partai saat ini, yang tampak adalah adanya kecenderungan memanipulasi informasi dan klaim yang tidak bertanggung jawab.
Partai Demokrat misalnya. Partai ini muncul dengan klaim keberhasilan dalam mendukung pemerintah menurunkan harga BBM. Memang benar bahwa Demokrat adalah partai pendukung pemerintah. Akan tetapi bukankah penurunan harga BBM merupakan suatu kebijakan yang wajar, sebab harga BBM dunia sedang mengalami penurunan?
Partai Golkar juga beriklan dengan tema penyelesaian konflik (pendamaian) yang tidak juga mengandung keutuhan kebenaran. Sebab dalam penyelesaian konflik yang diklaim, sesungguhnya bukan hanya kader Partai Golkar yang berperan.
Tak ketinggalan Partai Gerindra juga muncul dengan format iklan yang berbeda.Jika Demokrat dan Golkar muncul dengan klaim keberhasilan, Gerindra hadir dengan janji-janji pemulihan bangsa, khususnya bagi kaum tani dan nelayan. Bagi Gerindra, ini adalah satu-satunya cara untuk mendobrak namanya.
Untuk mendobrak kepopuleran, tidak ada cara lain selain dengan cara mengumbar janji. Bukankah ini cara lama yang hanya diubah bentuk penyampaiannya saja? Iklan yang cukup menggelitik, terutama bagi pemerintah, datang dari PDIP. Iklan PDIP memperbandingkan harga BBM dan beberapa harga sembako di era kepemimpinan Megawati maupun SBY.
Akan tetapi hasil penelitian beberapa lembaga survei terakhir ini membuktikan hal sebaliknya. Cara perang politik seperti ini memang menarik. Akan tetapi cukup menguras energi dan materi. Sebab memasang iklan tidak gratis dan murah. Sebab itu biarlah energi yang ada digunakan untuk hal yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat luas.
Karena sesungguhnya yang dilihat masyarakat bukan seberapa baik partai dalam beriklan, tapi kejelasan kebijakan dan keikutsertaan partai dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Seperti banjir yang sedang “tren”, ekonomi biaya tinggi yang melanda hidup masyarakat, pendidikan gratis yang masih menjadi mimpi. Dengan demikian citra partai pun akan terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu melakukan tindakan manipulasi maupun rekayasa informasi.
Mulai dari iklan yang mengklaim keberhasilan pembangunan,keberhasilan penyelesaian konflik sampai pada membanding-bandingkan tingkat keberhasilan yang dicapai. Dari segi etika komunikasi politik dan dalam konteks negara demokrasi, hal ini dibenarkan dan dimungkinkan untuk dilakukan.
Akan tetapi tidak berarti juga lantas membuat kita bisa seenaknya berbicara ataupun mengklaim sesuatu tanpa diikuti oleh bukti yang kuat ataupun tanpa memikirkan dampak negatif yang akan ditimbulkan. Melihat beragam iklan partai saat ini, yang tampak adalah adanya kecenderungan memanipulasi informasi dan klaim yang tidak bertanggung jawab.
Partai Demokrat misalnya. Partai ini muncul dengan klaim keberhasilan dalam mendukung pemerintah menurunkan harga BBM. Memang benar bahwa Demokrat adalah partai pendukung pemerintah. Akan tetapi bukankah penurunan harga BBM merupakan suatu kebijakan yang wajar, sebab harga BBM dunia sedang mengalami penurunan?
Partai Golkar juga beriklan dengan tema penyelesaian konflik (pendamaian) yang tidak juga mengandung keutuhan kebenaran. Sebab dalam penyelesaian konflik yang diklaim, sesungguhnya bukan hanya kader Partai Golkar yang berperan.
Tak ketinggalan Partai Gerindra juga muncul dengan format iklan yang berbeda.Jika Demokrat dan Golkar muncul dengan klaim keberhasilan, Gerindra hadir dengan janji-janji pemulihan bangsa, khususnya bagi kaum tani dan nelayan. Bagi Gerindra, ini adalah satu-satunya cara untuk mendobrak namanya.
Untuk mendobrak kepopuleran, tidak ada cara lain selain dengan cara mengumbar janji. Bukankah ini cara lama yang hanya diubah bentuk penyampaiannya saja? Iklan yang cukup menggelitik, terutama bagi pemerintah, datang dari PDIP. Iklan PDIP memperbandingkan harga BBM dan beberapa harga sembako di era kepemimpinan Megawati maupun SBY.
Akan tetapi hasil penelitian beberapa lembaga survei terakhir ini membuktikan hal sebaliknya. Cara perang politik seperti ini memang menarik. Akan tetapi cukup menguras energi dan materi. Sebab memasang iklan tidak gratis dan murah. Sebab itu biarlah energi yang ada digunakan untuk hal yang lebih menyentuh kepentingan masyarakat luas.
Karena sesungguhnya yang dilihat masyarakat bukan seberapa baik partai dalam beriklan, tapi kejelasan kebijakan dan keikutsertaan partai dalam menyelesaikan masalah-masalah yang sedang dihadapi.
Seperti banjir yang sedang “tren”, ekonomi biaya tinggi yang melanda hidup masyarakat, pendidikan gratis yang masih menjadi mimpi. Dengan demikian citra partai pun akan terbangun dengan sendirinya, tanpa perlu melakukan tindakan manipulasi maupun rekayasa informasi.
**Tulisan ini telah dimuat pada Kolom Mahasiswa Koran SINDO 03 Februari 2009.