![]() |
Gambar 1: Agama-agama |
Kekerasan bertubi menghampiri Indonesia hari-hari ini. Dalam satu pekan, dua kejadian mencoreng agama, merusak tatanan sosial dan mencederai nurani menimpa bangsa kita. Saat bangsa ini belum pulih dari kesedihan akibat kekerasan terhadap warga Ahmadiyah (06/2/2011), di Pandeglang, Banten, yang memakan tiga korban jiwa, kasus tak kalah sadisnya kembali bergelora di Temanggung, Jawa Tengah (08/2/2011), massa merusak tiga gereja.
Posisi agama
Agama (in sich) memang bisa disalahgunakan. Menurut Hariyatmoko (2004: 64-65), ada tiga peran agama yang rentan kekerasan. Pertama, agama sebagai penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologi). Konflik dimungkinkan terjadi, sebab penganut agama selalu menjadikan referensi, bahkan klaim ajaran agamanya sebagai legitimasi dalam bertindak di ruang publik. Klaim ini kemudian melahirkan pandangan bahwa nilai yang dimilikinya lebih tepat, atau lebih baik kalau dijadikan sebagai rujukan tunggal hidup bersama.
Kedua, agama sebagai identitas. Agama dijadikan sebagai identitas komunitas tertentu. Identitas keagamaan tertentu diklaim sebagai milik, sehingga mereka yang berbeda dianggap tak berhak menggunakan identitas itu.
Ketiga, agama menjadi legitimasi etis hubungan sosial. Dalam hal ini, agama digunakan sebagai pendukung tatanan nilai sosial. Akibatnya, nilai-nilai yang dianggap mendapat pengaruh dari ajaran agama tertentu, serta-merta langsung ditolak oleh mereka yang menganut agama berbeda. Nilai-nilai HAM (Hak Asasi Manusia) adalah contoh. Nada penolakan sebagian orang terhadap nilai-nilai universal HAM kerap dilatarbelakangi oleh pemikiran yang terlebih dahulu menolak identitas Kristen; sering diklaim sebagai pemberi dasar nilai-nilai HAM itu.
Peran pemuka agama
Ketiga peran dan sekaligus potensi konflik agama menjadi lengkap tatkala bertemu dengan penganut yang suka menyalahgunakan fungsi agama ini.
Konteks Indonesia, harus diakui bahwa kita tak sulit menemukan khotbah (ceramah) pemuka agama yang turut memicu adanya tindakan kekerasan. Beberapa juru khotbah yang dikenal di Indonesia kerap dengan leluasa, bahkan secara terbuka menyebarkan dogma kekerasan, semisal, membunuh kaum “kafir” atau umat yang sesat adalah benar. Bermacam rekaman (video) berisi khotbah yang memprovokasi itu dengan mudah kita peroleh, semisal melalui youtube.com (lihat contoh video di sini).
Peran penting pemuka agama tak bisa kita pungkiri. Sebagai masyarakat beragama, tokoh agama secara otomatis menjadi anutan dan berpengaruh bagi umat. Oleh karena itu, khotbah-khotbah yang berisi hasutan agar massa jangan takut memusnahkan salah satu umat yang dianggap sesat memang harus disesali. Kalau pemuka agama rajin bersuara bahwa membunuh “orang sesat” adalah halal, maka tak heran ada umat asuhannya yang berani melakukan itu.
Di sisi lain, kekerasan atas nama agama tak akan muncul kalau masyarakat juga kritis dalam beragama. Kekerasan bisa dihindari jika masyarakat beragama tidak terjebak pada sikap fanatisme, serta mampu menjaga jarak dengan agama. Konflik tak akan terjadi andai penganut agama mampu mengkritisi, dan berani berkata tidak pada ajaran pemuka agama yang secara nyata menghasut dan atau memberi legitimasi bagi kekerasan.
Penyalahgunaan agama, dengan menjadikannya sebagai ideologi, cenderung mengarahkan kita pada fanatisme. Bagi Hannah Arendt, fanatisme adalah musuh besar kebebasan. Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan. Di mana ada fanatisme beragama, di sana pasti ada pembatasan berkeyakinan.
Lahan subur fanatisme pertama-tama bukan orang bodoh yang mudah dipengaruhi, tetapi lebih dekat dengan “individu massa” yang tidak berkepribadian itu: orang yang tidak bisa membedakan kenyataan dari makna apa yang terjadi; orang yang tidak mau mempertanyakan lagi perbedaan antara kebenaran dan wacana; orang yang terlepas dari dari pijakan realitas. Kelemahan mendasar seorang fanatik ialah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya (Hariyatmoko, 2004).
Fanatisme membuat orang mengidentikan dirinya dengan kebenaran tafsiran. Seseorang akan memandang dirinya (pengetahuannya, pengalamannya, serta penafsiarannya) sebagai yang paling benar dan utama; menempatkan dirinya sebagai ukuran salah dan benar. Maka, jika ada orang yang berbeda dengan dirinya, rasa ketersingungan segera muncul, dan bisa berakhir pada konflik kekerasan.
Fanatisme jelas adalah persoalan manusia beragama. Agar tidak terjebak dalam sikap fanatisme beragama, Paul Ricouer (1986) dalam Hariyatmoko (2004: 67) menawarkan solusi dengan pengambilan jarak terhadap agama. Bagi Paul, konflik kekerasan hanya bisa dihindari apabila masyarakat beragama berhasil menjaga jarak dengan agama.
Menjaga jarak kita lakukan melalui; pertama, Kritik Ideologi. Kritik agama yang dilontarkan Marx, Nietzsche, dan Freud menyumbang di dalam pemurnian pemahaman agama. Kritik agama ini terbentuk di luar proses penafsiran, sebagai kritik ideologi, sebagai kritik atas prasangka dan ilusi agama.
Terbuka terhadap kritik berarti mengakui adanya serangan dari luar, yang mungkin bisa destruktif, tetapi kemudian diubah menjadi otokritik. Maka jawaban atas kritik bukan pembelaan, tetapi transformasi kritik tersebut untuk pemurnian agama. Agama atau keyakinan lain yang dipandang berbeda justru menjadi sarana memperkaya konsep agama kita.
Kedua, pembongkaran. Dalam hal ini, kita diajak untuk membongkar ilusi-ilusi, motivasi-motivasi, tujuan-tujuan serta kepentingan-kepentingan diri atau kelompok dalam beragama. Pembongkaran terhadap ilusi, kepentingan pribadi (pemimpin agama) atau kelompok, serta menghindarkan agama dari motivasi penyalahgunaan agama. Pembongkaran dilakukan melalui reinterpretasi teks, kritis, dan kontekstual.
Kita berani membuka kedok penafsiran yang sering menyembunyikan kepentingan-kepentingan entah pribadi atau kelompok. Kepentingan yang sering disembunyikan di balik monopoli penafsiran bisa ditampilkan untuk dikritisi. Dengan cara ini, ajaran pun diterima atas dasar kebebasan, bukan paksaan. Akhirnya, potensi konflik yang mengatasnamakan (manipulasi) agama juga bisa dipersempit dengan adanya pembongkaran ini.
Pada ujungnya, masyarakat beragama harus diajak untuk mampu membedakan antara wacana dengan kebenaran. Apa yang dikemukakan pemuka agama (apalagi berbau hasutan) adalah bagian dari diskursus ide yang sesungguhnya sangat terbuka untuk dikritisi. Mereka bukanlah manusia super yang lepas dari keterbatasan penafsiran.
Dengan begitu, kecederungan penyalahgunaan peran dan fungsi agama bisa kita hindari. Sikap sering menempatkan agama (dogma serta simbol-simbolnya) sebagai barang suci anti kritik, pemuka agama selalu benar, serta terjebak pada fanatisme yang pasti merugikan pun bisa kita jauhi.
Sumber gambar:
1. http://rismahutabarat.blogspot.com/2010_01_01_archive.html
2. http://dzulfikar.wordpress.com/category/opini-dan-renunganku/
Sumber gambar:
1. http://rismahutabarat.blogspot.com/2010_01_01_archive.html
2. http://dzulfikar.wordpress.com/category/opini-dan-renunganku/