1) Mengusung gerakan antiislam, 2) Mengembalikan paham Kristen puritan, 3) Menghukum warga asli Eropa atas penghianatan terhadap benua mereka sendiri, 4) Mengubah panangan masyarakat Eropa melalui revolusi, 5) Melindungi Norwegia dari serbuan pendatang dari luar Uni Eropa khususnya muslim, 6) Partai Buruh dianggap pendorong terciptanya masyarakat multibudaya.
Enam poin di atas adalah isi manifesto Anders Behring Breivik (32), seorang pembunuh beragama Kristen fundamentalisme-radikalisme (sayap kanan) Norwegia. Breivik adalah penembak dalam pembunuhan brutal di dua lokasi di Norwegia (22/07/2011), yang menewaskan 93 orang dan melukai 97 orang. Sebelumnya, orang muda ini mengguncang Norwegia dengan meledakan bom di dekat kantor Perdana Menteri Norwegia dan Kementerian Perminyakan di dekat Kota Oslo.
Semua tindakan biadab ini dilakukan Breivik dengan motivasi aneh, yakni karena ketakutan tergerusnya entitas Eropa, termasuk identitas sebagai bangsa mayoritas beragama Kristen. Dia melakukannya karena hendak membendung pengaruh identitas lain terhadap orang dan budaya Eropa, utamanya dari kaum imigran yang beragama Islam.
Klaim yang tidak produktif
![]() |
Gambar 1: Behring Breivik (Pembunuh yang Beragama Kristen) |
Semua tindakan biadab ini dilakukan Breivik dengan motivasi aneh, yakni karena ketakutan tergerusnya entitas Eropa, termasuk identitas sebagai bangsa mayoritas beragama Kristen. Dia melakukannya karena hendak membendung pengaruh identitas lain terhadap orang dan budaya Eropa, utamanya dari kaum imigran yang beragama Islam.
Klaim yang tidak produktif
Umum kita mendengar klaim sebagian orang, bahwa Eropa adalah benua Kristen. Amerika Serikat merupakan negara Kristen. Sepintas nampak benar, apalagi penganut agama Kristen memang pernah mayoritas dan mendominasi jumlah penduduk di sana. Namun, apakah karena itu lantas benua Eropa atau Amerika bisa diklaim sebagai milik entitas tertentu? Tunggu dulu.
Bagi penulis, cara pandang demikian (klaim-klaim sejenis itu) adalah arogan, juga merupakan bentuk penyangkalan terhadap fakta kemungkinan adanya perubahan. Di Indonesia, sebelum masuk agama Islam—yang kini mayoritas—sudah ada agama-agama suku. Sama, bukankah sebelum Kekristenan sampai, masyarakat Eropa sudah memiliki budaya dan mayoritas beragama suku tertentu?
Maka, klaim bahwa Eropa adalah benua Kristen adalah kekeliruan memandang perjalanan sejarah, pun merupakan cara pandang sempit: yang kerap melahirkan sikap picik, dan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu, seperti yang dialami sebagian orang Eropa, termasuk oleh Breivik.
Hari ini bisa jadi masyarakat Eropa mayoritas masih beragama Kristen, tetapi bukan berarti benua itu akan selalu didominasi orang Kristen. Suatu saat, dan hari ini sudah sangat terbuka untuk terjadi, jumlah mayoritas penganut agama bisa berubah. Untuk itu, orang Eropa dan termasuk masyarakat Indonesia, harus mulai belajar memahami dan menerima bahwa fase di mana suatu identitas mendominasi wilayah tertentu, sejatinya itu hanyalah secuil bagian dari sejarah yang mana suatu saat akan berganti. Tak ada hal yang terlalu rumit untuk ditakutkan terhadap kemungkinan perubahan itu. Apalagi memeluk agama adalah hak tiap-tiap orang.
Konteks Indonesia
Bagi penulis, cara pandang demikian (klaim-klaim sejenis itu) adalah arogan, juga merupakan bentuk penyangkalan terhadap fakta kemungkinan adanya perubahan. Di Indonesia, sebelum masuk agama Islam—yang kini mayoritas—sudah ada agama-agama suku. Sama, bukankah sebelum Kekristenan sampai, masyarakat Eropa sudah memiliki budaya dan mayoritas beragama suku tertentu?
Maka, klaim bahwa Eropa adalah benua Kristen adalah kekeliruan memandang perjalanan sejarah, pun merupakan cara pandang sempit: yang kerap melahirkan sikap picik, dan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu, seperti yang dialami sebagian orang Eropa, termasuk oleh Breivik.
Hari ini bisa jadi masyarakat Eropa mayoritas masih beragama Kristen, tetapi bukan berarti benua itu akan selalu didominasi orang Kristen. Suatu saat, dan hari ini sudah sangat terbuka untuk terjadi, jumlah mayoritas penganut agama bisa berubah. Untuk itu, orang Eropa dan termasuk masyarakat Indonesia, harus mulai belajar memahami dan menerima bahwa fase di mana suatu identitas mendominasi wilayah tertentu, sejatinya itu hanyalah secuil bagian dari sejarah yang mana suatu saat akan berganti. Tak ada hal yang terlalu rumit untuk ditakutkan terhadap kemungkinan perubahan itu. Apalagi memeluk agama adalah hak tiap-tiap orang.
![]() |
Gambar 2: Islam disudutkan |
Sebelum pengaruh Islam masuk dan mendominasi pulau Jawa dan atau Indonesia, jauh hari sudah ada agama mayoritas, yakni penganut animisme dan dinamisme. Maka, jika hari ini penganut Islam nampak mayoritas, sesungguhnya itu bagian dari serangkaian sejarah sesaat, yang suatu waktu bisa berganti. 100 tahun lagi penganut agama Kristen mungkin saja menjadi mayoritas. Atau bisa jadi, malah animisme—setelah dimodifikasi—mendapat pengikut yang terbanyak.
Siapa yang bisa menduga, kalau hal itu akan terjadi? Itu sangat mungkin, maka kita harus menyiapkan diri. Bersiap untuk legowo atau berbesar hati kalau-kalau suatu saat di Indonesia yang mayoritas bukan lagi penganut agama Islam. Atau di suatu daerah (Kota atau Kabupaten dan atau Propinsi) tertentu kelak yang mayoritas bukan lagi penganut Agama Kristen, Budha, dan atau Hindu (dst).
Kegalauan tergerusnya identitas, rupanya bukan saja milik orang Eropa dan masalah kita secara nasional. Dalam konteks lokal—dengan adanya otonomi daerah—sebagain wilayah negeri ini ikut melahirkan dan mengembangkan kebijakan publik yang bernuansa sektarian. Karena merasa didominasi agama atau bersuku mayoritas tertentu, maka sebagian pemerintah daerah mengeluarkan ragam aturan dalam rangka membendung atau menjaga keaslian entitas masyarakat di wilayahnya.
Hasil penelitian beberapa peneliti dan antropolog kaitan ini tercatat secara gamblang dalam “Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru (2011)”. Kebijakan publik yang terindekasi bernuansa kepentingan golongan tertentu terjadi hampir di semua daerah. Mulai Aceh, Bali, Papua, dan bahkan di Sulawesi Utara (dst).
Di Papua Barat, Kota Manokwari, misalkan, beberapa tahun lalu dihebohkan dengan adanya Rencana Peraturan Daerah Kota Injil. Ragam alasan dikemukakan oleh penggagas (tokoh agama dan masyarakat setempat), namun faktor ingin membendung pengaruh dari luar dalam rangka menjaga identitas asli orang Papua di sana (yang mayoritas beragama Kristen), utamanya sebagai Kota Injil terlalu sulit disembunyikan. Beberapa tokoh masyarakat dan agama Kota Manokwari secara terbuka juga mengakui niatan itu.
Walau mereka akui bahwa apa yang diperbuat itu keliru, tetapi sikap politisasi agama oleh sebagian daerah di Indonesia—utamanya adalah kasus Aceh yang diberikan keleluasaan menerapkan hukum agama—telah mendorong mereka untuk bersemangat segera membuat Perda itu, dan segera menerapkannya.
Pelajaran buat kita
Siapa yang bisa menduga, kalau hal itu akan terjadi? Itu sangat mungkin, maka kita harus menyiapkan diri. Bersiap untuk legowo atau berbesar hati kalau-kalau suatu saat di Indonesia yang mayoritas bukan lagi penganut agama Islam. Atau di suatu daerah (Kota atau Kabupaten dan atau Propinsi) tertentu kelak yang mayoritas bukan lagi penganut Agama Kristen, Budha, dan atau Hindu (dst).
Kegalauan tergerusnya identitas, rupanya bukan saja milik orang Eropa dan masalah kita secara nasional. Dalam konteks lokal—dengan adanya otonomi daerah—sebagain wilayah negeri ini ikut melahirkan dan mengembangkan kebijakan publik yang bernuansa sektarian. Karena merasa didominasi agama atau bersuku mayoritas tertentu, maka sebagian pemerintah daerah mengeluarkan ragam aturan dalam rangka membendung atau menjaga keaslian entitas masyarakat di wilayahnya.
Hasil penelitian beberapa peneliti dan antropolog kaitan ini tercatat secara gamblang dalam “Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru (2011)”. Kebijakan publik yang terindekasi bernuansa kepentingan golongan tertentu terjadi hampir di semua daerah. Mulai Aceh, Bali, Papua, dan bahkan di Sulawesi Utara (dst).
Di Papua Barat, Kota Manokwari, misalkan, beberapa tahun lalu dihebohkan dengan adanya Rencana Peraturan Daerah Kota Injil. Ragam alasan dikemukakan oleh penggagas (tokoh agama dan masyarakat setempat), namun faktor ingin membendung pengaruh dari luar dalam rangka menjaga identitas asli orang Papua di sana (yang mayoritas beragama Kristen), utamanya sebagai Kota Injil terlalu sulit disembunyikan. Beberapa tokoh masyarakat dan agama Kota Manokwari secara terbuka juga mengakui niatan itu.
Walau mereka akui bahwa apa yang diperbuat itu keliru, tetapi sikap politisasi agama oleh sebagian daerah di Indonesia—utamanya adalah kasus Aceh yang diberikan keleluasaan menerapkan hukum agama—telah mendorong mereka untuk bersemangat segera membuat Perda itu, dan segera menerapkannya.
Pelajaran buat kita
Menurut Tajuk Rencana Sinar Harapan (25/072011), “berdasar pengakuan Breivik kepada polisi, dirinya ingin mengubah struktur masyarakat Norwegia dan Eropa melalui sebuah revolusi (poin ke-4 manifestonya). Saat memeriksanya, polisi menemukan dekomen 1.500 halaman yang berisi rencana serangan. Bahkan dokumen yang bernada antiislam berjudul 2093-Deklarasi Kemerdekaan Eropa dipasangnya beberapa jam sebelum melakukan serangan.”
Tak bisa dipungkiri bahwa unsur ketakutan menurunnya jumlah penganut, serta ketakutan tergerusnya dominasi Kristen di Eropa adalah penyebab utama lahirnya reaksi-reaksi yang tidak perlu (negatif), bahkan bisa berbentuk kekerasan ala-Breivik. Padahal, semestinya penurun jumlah itu harus disikapi secara otokritik: ada apa dengan cara dan pola beragama (agama) kita sampai-sampai tak ada orang yang berminat?
Sayangnya, fakta menurunnya peminat agama Kristen malah direspon dengan mencari kambing hitam: menjadikan kehadiran orang lain—dengan ragam identitasnya—sebagai lawan dan musuh yang harus dibinasakan. Pola pikir dan cara merespon demikian tentu adalah keliru dan kebodohan!
Dalam konteks Indonesia (yang majemuk), kita harus mampu kembangkan sikap trimo, luwes, terbuka, serta membiarkan agama-agama serta penganutnya yang ada itu tumbuh dan berkembang secara bebas dan setara. Yang terpenting adalah kita perlu menjaga dan mendorong agar negara (melalui pemerintah) tetap netral serta tampil kuat dalam menjalankan tugas dan fungsi-fungsinya. Negara mesti mampu menjamin agar kehadiran dan persentuhan antar manusia yang berbeda identitas tidak saling mencelakakan bahkan saling membunuh.
Fakta Tragedi Norwegia kapan lalu telah menunjukan kepada kita, bahwa manusia-manusia sejenis Osama Bin Laden juga banyak berkeliaran di Eropa dan berwajah kudus. Dan, juga kian mengkonfirmasi bahwa kejahatan dan kekerasan atas nama agama bukanlah monopoli sebagian penganut agama dan umat tertentu. Fundamentalisme dan radikalisme (dalam arti negatif) adalah milik dan berpotensi dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh penganut Kristen sekalipun: orang yang nampak alim, saleh, dan rajin membaca Kitab Suci.
Tak bisa dipungkiri bahwa unsur ketakutan menurunnya jumlah penganut, serta ketakutan tergerusnya dominasi Kristen di Eropa adalah penyebab utama lahirnya reaksi-reaksi yang tidak perlu (negatif), bahkan bisa berbentuk kekerasan ala-Breivik. Padahal, semestinya penurun jumlah itu harus disikapi secara otokritik: ada apa dengan cara dan pola beragama (agama) kita sampai-sampai tak ada orang yang berminat?
Sayangnya, fakta menurunnya peminat agama Kristen malah direspon dengan mencari kambing hitam: menjadikan kehadiran orang lain—dengan ragam identitasnya—sebagai lawan dan musuh yang harus dibinasakan. Pola pikir dan cara merespon demikian tentu adalah keliru dan kebodohan!
![]() |
Gambar 3: Kesedihan pasca penembakan |
Fakta Tragedi Norwegia kapan lalu telah menunjukan kepada kita, bahwa manusia-manusia sejenis Osama Bin Laden juga banyak berkeliaran di Eropa dan berwajah kudus. Dan, juga kian mengkonfirmasi bahwa kejahatan dan kekerasan atas nama agama bukanlah monopoli sebagian penganut agama dan umat tertentu. Fundamentalisme dan radikalisme (dalam arti negatif) adalah milik dan berpotensi dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh penganut Kristen sekalipun: orang yang nampak alim, saleh, dan rajin membaca Kitab Suci.
Sumber gambar:
1. http://internasional.kompas.com/read/2011/08/18/02525028/Breivik.Punya.Bom.Lain.yang.Lebih.Besar
2. http://www.eramuslim.com/berita/dunia/tragedi-norwegia-mereka-yang-ingin-mengobarkan-sentimen-anti-islam.htm
3. http://foto.vivanews.com/read/3913/57880-tragedi-berdarah-di-pulau-utoya