21 Desember 2011

Kekayaan: Antara Hak dan Pengendalian Diri

Gambar 1: Orang kaya Indonesia

Ketimpangan kepemilikan kekayaan masyarakat Indonesia sungguhlah mencolok. Di tengah kemiskinan akut, segelintir pengusaha—juga sebagian politisi di DPR—hidup dalam kemewahan. Miliaran dollar Amerika Serikat (AS) ada di kantong pribadi mereka. Bahkan, sebagian di antaranya mendapatkan kekayaan dari hasil bisnis “racun” yang dilegalkan: rokok!

Majalah Forbes (edisi 23/11/2011) menempatkan Budi Hartono dan Michael Hartono sebagai orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$14 miliar (sekitar Rp124 triliun). Yang kalau dirata-rata penghasilan pemilik PT. Djarum itu per hari adalah Rp345 miliar. Peringkat kedua adalah bos PT. Gudang Garam (US$10 miliar, sekitar Rp91 triliun). Kekayaan Susilo Wonowijoyo mengalami kenaikan Rp1,3 triliun dari tahun 2010.

Peringkat berikutnya (ke-9) adalah Putera Sampoerna dengan total kekayaan US$2,4 miliar. Dan Aburizal Bakrie berada pada posisi ke-30 dengan total kekayaan US$890 juta. Selain empat pengusaha ini, masih ada 36 pengusaha dengan kekayaan ratusan juta dollar AS. Paling rendah, di urutan ke-40 yakni US$630 juta.

Pada referensi etis benar-salah (etika deotologis), tentu menikmati hasil jerih lelah sendiri tidaklah salah. Persoalan kita adalah, ukuran etis suatu tindakan tidak melulu diukur melalui benar-salah. Menurut ahli etika Eka Darmaputera (2001), ada ukuran lain, yakni tepat-tidak tepat: etika kepantasan (pantas-tidak pantas) atau etika kontekstual.

Karena kontekstual, maka tentu sifatnya relatif. Artinya, ukuran kepantasan tindakan kita diukur oleh realitas kehidupan (sosial) di sekitar kita. Bagaimana dengan konteks masyarakat Indonesia—tempat di mana tindakan etis (memiliki dan menikmati kekayaan) ini diambil?

Menurut Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (Media Indonesia, 30/11/2011), rata-rata penghasilan orang Indonesia hanya Rp85.000/hari. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan jumlah penduduk miskin dengan pendapatan US$1 per hari, di Indonesia hingga Maret 2011 tercatat 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Tetapi jika menggunakan standar Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pendapatan US$2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59 persen. Itu artinya, ada setengah dari jumlah penduduk Indonesia yang berpenghasilan US$2 per hari.

Selain itu, potret hidup mayoritas masyarakat melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia tahun 2011 juga masih buruk. Posisi Indonesia melorot dari peringkat ke-111 dari 182 negara menjadi ke-124 dari 187 negara. IPM mengklarifikasi kualitas hidup rakyat suatu negara melalui tiga indikator sebagai ukuran, yaitu kualitas dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan ekonomi.

Kepemilikan kekayaan beberapa pengusaha di atas nampaknya menjadi ironi sosial, akhirnya menjadi tidak etis. Ini tidak berlebihan, mengingat kualitas hidup mayoritas masyarakat Indonesia (konteks kita) masih jauh dari kehidupan yang pantas. Berbeda jauh dibandingkan dengan apa yang dimiliki dan dinikmati oleh para pengusaha itu.

Bung Hatta: kepemilikan berfungsi sosial
Muhammad Hatta, salah satu proklamator, bukan saja memiliki gagasan cemerlang soal ekonomi yang berkeadilan (sosialisme religius), bahkan Bung Hatta—panggilan lain Muhammad Hatta—sendiri secara konsisten adalah orang yang menjalankan idealisme itu.

Hidup sederhana, berkecukupan, dan tidak berlebihan adalah praktek yang kita temui dalam keseharian hidup Bung Hatta. Padahal, bukan saja Bung Hatta, tetapi hampir sebagian besar para pendiri bangsa ini, memiliki kesempatan untuk hidup mewah. Mereka mempunyai hak untuk kaya, namun bedanya mereka enggan menggunakan hak itu. Mampu mengendalikan tawaran hidup berkelimpahan, mereka sanggup menahan diri untuk tidak hidup mewah, serta enggan untuk bergelimpanggan harta.

Gambar 2: Bung Hatta dan sepatu BALLY

Hidup serta pemikiran Bung Hatta itu tercermin dari cita-cita pembangunan ekonomi Indonesia merdeka yang digagasnya. Bagi Bung Hatta, nilai-nilai Pancasila sejatinya tepat dan seharusnya mendasari tatanan kehidupan bangsa ini, termasuk dalam bidang ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial. Nilai-nilai Pancasila macam apa itu?

Secara umum, pemikiran ekonomi Bung Hatta mengarah pada bagaimana menegakan dan menciptakan suatu masyarakat yang baik dan sejahtera. Dan untuk mencapai itu, menurut Bung Hatta, harus ada jiwa dan semangat tolong-menolong antarwarga masyarakat (Anwar Abbas, 2010).

Kata lain, ekonomi negara ini hendak dibangun di atas dasar kebersamaan yang mengandalkan sikap gotong-royong, saling tolong-menolong dan ber-ukhuwah mengutaman kerja sama (cooperation), bukan mengandalkan persaingan (free competition). Itulah mengapa bunyi Pasal 33 UUD 1945, “perekonomian disusun sebagai usaha bersama (bukan individu: monopoli) berdasar atas asas kekeluargaan.”

Selain itu, bagi Bung Hatta, pembangunan yang ada juga haruslah diorientasikan pada; adanya etik dan moral agama, bukan materialisme (Ketuhanan Yang Maha Esa); tidak mengenal pemerasan atau eksploitasi manusia (kemanusiaan yang adil dan beradab); kekeluargaan, kebersamaan, nasionalisme dan patrotisme ekonomi (Persatuan); mengutamakan ekonomi rakyat dan hajat hidup orang banyak (Karakyatan); serta persamaan, kemakmuran masyarakat yang utama, bukan kemakmuran orang-seorang (keadilan sosial).

Prinsip ekonomi Pancasila, yang kemudian dikenal sengan sosialis religius ini, adalah bentuk penolakan Bung Hatta terhadap dua gagasan besar ekonomi di kala itu: kapitalisme dan sosialisme marxisme. Dua gagasan ini ditolak, sebab keduanya dinilai “sekuler” dan sama-sama mendewakan individu (anthropocenrism).

Walau demikian, bukan berarti di negeri ini memiliki kekayaan adalah pelanggaran. Bagi Bung Hatta, kekayaan individu tetap bisa ada, namun haruslah berfungsi sosial. Bahwa “semua orang boleh mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain. Miliknya itu dijamin, tidak boleh dirampas dengan semena-mena. Tetapi jika hak miliknya tidak dipergunakan untuk kepentingan umum sedangkan masyarakat menghendakinya, pemerintah berhak menggunakannya untuk itu” (Ekonomi Terpimpin, 1979).

Artinya, kepemilikan terhadap harta benda adalah hak yang dilindungi oleh negara. Setiap individu yang ada di negeri ini boleh memiliki kekayaan sesuai dengan kapasitas ekonominya. Namun, itu tidak berarti kekayaan yang dimiliki bisa digunakan melulu demi kepentingan pribadi. Kepemilikan itu tidak bersifat absolut, sehingga haruslah berfungsi sosial: dimanfaatkan demi kepentingan masyarakat luas.

Pengendalian diri
Selain itu, jelas terlihat bahwa semangat Pancasila menempatkan pengendalian diri sebagai hal yang penting. Pengendalian diri macam apakah pada konteks kepemilikan ini?

Gambar 3: Semua untuk semua
Acap kali atas nama hak, kita mengambil keuntungan dan miliki kekayaan berlebih, lalu melakukan pembenaran terhadapnya melalui kegiatan bantuan sosial: berbagi sedikit keuntungan. Kita sesekali membagikan keuntungan kepada mereka yang dianggap membutuhkan. Itu pun tidak seberapa jumlahnya dibandingkan dengan hasil yang kita dapatkan. Tindakan ini tidak salah, namun praktek demikian tidak membuktikan kita berhasil mengendalikan diri.

Berbagi sedekah bukan pula bentuk pengendalian diri yang sesungguhnya. Pengendalian diri yang dimaksud harus tercermin dalam tindakan lain, bahkan lebih mendasar, yakni menahan diri untuk tidak mengambil keuntungan yang terlalu banyak, walaupun kemampuan untuk itu dimungkinkan.

Secara sederhana, wujud pengendalian itu bisa dijelaskan seperti ini: ada seorang (warga negara) yang berbisnis dan (kalau mau) mampu mengambil keuntungan hingga 100 milliar, tetapi dia tidak mengambil semua potensi keuntungan itu. Dengan sadar Ia menyisihkan 90 milliar (sisanya misalkan) bagi yang lain. Dia tidak mengambil seluruhnya (100 miliar itu) karena sadar bahwa ada saudara-saudara lainnya yang juga membutuhan. Dia melakukan itu supaya orang lain bisa ikut bekerja mendapatkan dan menikmati. Bukan karena hukum yang melarang, bukan pula karena aturan yang memaksanya, tetapi semata-mata tindakan itu ia lakukan karena ada referensi moralitas yang menuntun dan mengendalikannya dalam bertindak.

Dari sisi etis benar-salah (etika deotologis), seseorang mengambil keuntungan, memiliki, dan menikmati kekayaan dalam jumlah tertentu adalah benar. Namun di saat yang sama, referensi etis pula (etika kontekstual: kepantasan) serta pengendalian diri agar tidak tamak, akan menuntun kita menjadi tidak berlebihan dalam mengambil keuntungan bahkan menimbun kekayaan.

Tidak mengambil keuntungan berlebihan, walau kita dibolehkan bahkan memiliki kesempatan adalah sikap yang tidak mudah dilakukan. Kita akan dianggap payah dan bodoh oleh sebagian orang. Tapi percayalah, dengan sikap demikian keadilan sosial masyarakat itu bisa dicapai. Bahkan, sesungguhnya mengendalikan diri seperti ini adalah cerminan dari asas kekeluargaan serta religiusitas prinsip Ekonomi Pancasila kita.


Sumber gambar:
1. http://www.hariansumutpos.com/2011/11/19864/menkeu-kejar-pajak-orang-kaya.htm
2. http://ervakurniawan.wordpress.com/2011/10/07/bung-hatta-dan-kisah-sepatu-bally/
3. http://anisa-mardatillah.blogspot.com/2011/04/kewirausahaan-sosial.html

13 Desember 2011

Kemiskinan dan Pemberdayaan Lokal

Gambar 1: Warga miskin kota
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan jumlah penduduk miskin di Indonesia hingga Maret 2011 tercatat 30,02 juta orang atau 12,49 persen dari total penduduk. Jika menggunakan standar Bank Dunia dengan ukuran kemiskinan pengeluaran US$ 2 per hari, maka jumlah orang miskin di Indonesia mencapai 59 persen atau setengah dari penduduk Indonesia.

Tahun 2011 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia juga melorot dari posisi peringkat ke-111 dari 182 negara ke posisi 124 dari 187 negara. IPM adalah alat klasifikasi negara menjadi kategori maju, berkembang, atau terbelakang. Dengan cara mengukur tiga indikator suatu negara yaitu, bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi.

Kritik konsepsi pembangunan
Fakta kemiskinan serta penurunan ideks pembangunan manusia Indonesia tentu mengundang tanya bagi proses pembangunan yang selama ini dilakukan negara. Angka kemiskinan setiap tahun berada pada posisi yang hampir sama, bahkan cenderung meningkat. Kalaupun terjadi perubahan jumlah, itu lebih karena ”permainan” ukuran dalam penetapan kategori masyarakat miskin. Bukan karena adanya peningkatan kualitas hidup, akibat intervensi kebijakan pemerintah.

Sebab persoalan kemiskinan ini bisa ditelusuri pada orientasi pembangunan yang selama ini dilakukan. Secara umum, Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pernah menggambarkan bahwa pembangunan yang terjadi di dunia—juga tentu di Indonesia—saat ini cenderung, pertama, jobless growth. Artinya, pembangunan yang ada tidak memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat untuk menikmati pekerjaan.

Kedua, ruthless growth. Pembangunan yang ada cenderung membuat kesenjangan kian melebar. Jarak antara yang miskin dan kaya makin lebar. Akses terhadap pendidikan tidak merata. Akses pelayanan kesehatan juga sangat terbatas bagi mereka yang miskin.

Ketiga rootless rowth, pembanguan cenderung abai terhadap pelestarian dan pengembangan budaya lokal atau nasional. Pembangunan cenderung mengarah pada dinamika dan pola tingkah hidup masyarakat global (Barat), sehingga kearifan lokal menjadi diabaikan.

Keempat, voiceless growth. Berbagai konflik sosial bemunculan. Mulai dari yang bernuansa agama, suku, hingga bermotif kepentingan politik dan ekonomi. Konflik muncul sebagai konsekuensi dari pembangunan yang mengesampingkan suara dan kepentingan masyarakat.

Kelima, futures growth. Kerusakan hutan dan lingkungan akibat eksploitasi yang terjadi. Alam dirusak, demi kepentingan pembangunan. Pembalakan liar terus mewabah, akibat perilaku koruptif birokrat, aparat keamanan dan pengusaha ”hitam”.

Pembangunan mengalami pertumbuhan, pembangunan berjalan cepat, tetapi kelompok yang lemah secara sosial, ekonomi dan politik terus terekslusi.

Pola ini telah menuai banyak kritik. Michael Todaro (1997, dalam Suharto), menyatakan kemajuan ekonomi merupakan konsep penting dalam pembangunan, hanya pembangunan bukan semata-mata persoalan ekonomi. Pembangunan harus ditujukan lebih dari sekedar peningkatan kemakmuran manusia secara material dan financial.

Todaro memandang pembangunan merupakan sebuah konsep yang multi-dimensional, yang melibatkan reorientasi dan reorganisasi sistem-sistem ekonomi dan sosial secara menyeluruh dan berkesinambungan. Artinya, disamping peningkatan ekonomi, juga harus diiringi dengan perubahan struktur sosial, kelembagaan dan sikap masyarakat termasuk kebiasaan dan keyakinan.

Selain itu, secara teoritis, pembangunan yang ada juga masih menggunakan pendekatan lama. Pertama, pembangunan (dalam pengentasan kemiskinan) masih cenderung bersifat makro dan banyak mengandalkan generasisasi. Pendekatan masih menggunakan teori besar yang dianggap berlaku umum (grand theori).

Kedua, pendekatan pembangunan yang ada cenderung menggunakan konsep dan model-model yang dirancang di belakang meja. Ketiga, pembangunan sangat bersifat sektoral. Sosial menjadi area tersendiri dalam orientasi pembangunan. Seakan-akan pembangunan bidang lainnya, semisal, politik, ekonomi, perbankan, (dst) lepas dari kaitannya dengan bidang sosial.

Keempat, aktor dalam pembangunan juga cenderung dimonopoli oleh pemerintah. Masyarakat cenderung menjadi obyek pembangunan, sedangkan pemerintah adalah subyek. Kelima, pembangunan juga cenderung mengarahkan dan membentuk masyarakat menjadi homogen.

Gambar 2: Bentuk pemberdayaan
Pendekatan lokalitas
Penelitian oleh SMERU pada Mei 2011 terhadap tiga kelurahan di DKI Jakarta, yakni di Kelurahan Kamal, Kelurahan Penjaringan, dan Kelurahan Kayu Putih, menunjukan ada konteks, serta kerentanan kemiskinan yang berbeda satu sama lainnya.

Masyarakat di Kelurahan Kamal, misalnya, umumnya bekerja di sektor pertanian, dan kerap terkena imbas dari gejolak harga pupuk dan kekeringan. Warga di Kelurahan Kayu Putih sangat dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah daerah dalam soal penertiban pedagang asongan atau pun kaki lima. Sedangkan bagi warga Kelurahan Penjaringan, kehidupan mereka sangat bergantung dengan kagiatan industri di sekitarnya. Mereka sering terkena imbas dari banjir dan jebolnya tanggul, yang berakibat tergangunya aktivitas industri.

Melihat adanya perbedaan kerentanan kemiskinan, semestinya menolong kita, utamanya pemerintah, dalam menentukan jenis intervensi. Pemerintah DKI Jakarta tidak bisa menggunakan satu pendekatan saja dalam penyelesaian masalah kemiskinan, apalagi menyamaratakannya.

Sebagai gambaran, Pemda DKI Jakarta meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Program Keluarga Harapan (PKH), Program Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Bantuan Biaya Kesehatan, dan PNPM. Tetapi tetap saja, masyarakat miskin di DKI Jakarta terhitung pada Maret 2011 sesuai dengan batasan garis kemiskinan, yakni Rp 355.480 per kapita per bulan, masih ada 363,42 ribu orang (3,75 persen) yang masuk kategori miskin. Bahkan naik sebesar 312,18 ribu orang (3,48 persen) dibandingkan Maret 2010.

Ini hanya membuktikan bahwa pendekatan pembangunan dengan pola lama (bantuan sosial)—dan bukan suatu kebijakan komprehensif guna pembangunan manusia--tidaklah cukup mengangkat sebagian masyarakat kita dari ruang kemiskinan.

Lain konteks lain pula potensi serta kebutuhan bentuk kebijakan pembangunan sosial yang diperlukan. Untuk itu, pendekatan penyelesaian masalah kemiskinan mesti diubah, menjadi lebih kontekstual dan berbasis potensi lokal. Pendekatan ini menjadi penting, mengingat dalam masyarakat bukan saja ada persoalan kemiskinan, tetapi di saat yang sama ada kearifan serta potensi lokal yang menjadi modal atau kekuatan mereka untuk bertahan hidup. Potensi inilah yang harus diberdayakan oleh pemerintah.

Masyarakat di Keluraham Kamal, misalnya, umumnya bekerja di sektor pertanian, dan kerap terkena imbas dari gejolak harga pupuk dan kekeringan. Artinya, sebagai petani, salah satu faktor yang memungkinkan mereka jatuh miskin adalah persoalan harga pupuk. Semakin tinggi harga pupuk, maka ketersediaan sumber daya mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain (kesehatan atau pendidikan) akan terganggu. Dan sudah tentu, persoalan harga pupuk tidak bisa diselesaikan dengan memberikan BLT atau pun program Raskin semata. Persoalan keterjangkauan pupuk oleh petani adalah persoalan keberpihakan penetapan harga oleh kebijakan pemerintah terhadap mereka.

Kemiskinan di Kelurahan Kayu Putih juga demikian. Ekonomi masyarakat di sana amat bergantung dengan berdagang asongan. Tetapi, di saat yang sama, muncul kebijakan penertiban oleh Pemda DKI Jakarta. Bagaimana mungkin bisa berjualan secara mapan, jika sewaktu-waktu akan digusur oleh Satuan Pamong Praja? Artinya, kebijakan penertiban tidak bisa serta merta dilakukan, jika tidak ada solusi kebijakan bagi masyarakat untuk berdagang.

Selain penertiban, pemerintah harus melahirkan kebijakan yang memberdayakan serta menjamin bahwa mereka tetap bisa mendapatkan tempat yang baik juga strategis untuk tetap berdagang, sehingga bisa hidup layak bahkan meningkatkan taraf hidupnya untuk keluar dari lumpur kemiskinan.

Pembangunan yang baik adalah pembangunan yang berorientasi pengembangan potensi lokal, serta yang menempatkan masyarakat sebagai subyek. Pembangunan yang mengarah pada pengembangan potensi serta keterlibatan masyarakat secara luas.

Untuk itu, pemerintah harus jeli dan peka untuk melihat potensi lokal, serta keterbukaan bagi keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan pembangunan. Karena hanya dengan keterbukaan serta kebijakan pembangunan berbasis potensi lokal itulah, kehidupan masyarakat yang terpinggirkan bisa terangkat, serta mampu melepaskan diri dari lumpur kemiskinan.


Sumber gambar:
1. http://nikmatnyaplusplus.blogspot.com/
2. http://www.pekka.or.id/8/index.php?option=com_joomgallery&func=detail&id=18&Itemid=59&lang=in