![]() |
Gambar 1: Trotoar jalan di Tempat Kejadian Perkara (Dok. Pribadi) |
Sebetulnya, pejalan kaki yang ditabrak di atas trotoar Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat (22/012012) mencerminkan buruknya layanan publik di negeri ini. Trotoar sebagai fasilitas bagi pejalan kaki tidak mampu menjaga penggunanya dari ancaman buruk kecelakaan. Pemerintah sebagai penyedia fasilitas publik—termasuk trotoar—menjadi pihak yang harus bertanggung jawab.
Kelalaian Afriyani menambah daftar kecelakaan karena pengemudinya mabuk. Sepanjang 2010 hingga awal 2012, setidaknya terjadi 9 tabrakan maut karena pengemudinya diduga mabuk. Kecelakaan jalan raya menjadi pembunuh ketiga terbesar di dunia, setelah penyakit jantung dan TBC. Di Indonesia, sepanjang tahun 2010, polisi mencatat setidaknya 31.600 jiwa melayang akibat kecelakaan.
Kelalaian Afriyani menambah daftar kecelakaan karena pengemudinya mabuk. Sepanjang 2010 hingga awal 2012, setidaknya terjadi 9 tabrakan maut karena pengemudinya diduga mabuk. Kecelakaan jalan raya menjadi pembunuh ketiga terbesar di dunia, setelah penyakit jantung dan TBC. Di Indonesia, sepanjang tahun 2010, polisi mencatat setidaknya 31.600 jiwa melayang akibat kecelakaan.
Bahkan, menurut Direktur Jasa Marga, Frans Sunito, setiap hari 100 orang meninggal dunia akibat kecelakaan. Artinya, jalan raya di Indonesia mencabut satu nyawa korban, tiap 15 menit sekali (Vivanews.com, 10/092011).
Potret buram pelayanan publik
Pemberian status tersangka kepada Afriyani adalah masalah lain—di satu sisi—yang tidak boleh menutupi potret buram masalah fasilitas publik di Indonesia, dan khususnya di DKI Jakarta. Kesalahan Afriyani—karena berkendara dalam pengaruh obat terlarang—tentu harus diberikan sanksi berat, akan tetapi faktor rendahnya kualitas fasilitas trotoar di tempat kejadian perkara juga tidak bisa diabaikan. Buruknya fasilitas trotoar di tempat kejadian perkara (TKP) berkonstribusi melahirkan petaka itu.
Buruknya penyediaan fasilitas publik di negeri ini adalah rahasia umum. kualitas berbagai prasarana publik dibangun seadanya. Jembatan Kartanegara di Sungai Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang baru berumur 10 tahun harus runtuh pada 26 November 2011 karena kualitas buruk proyek-proyek di negeri ini yang kerap terjangkit racun korupsi.
Gambaran buruk lain layanan publik itu terlihat dari fenomena jembatan “maut” di Sang Hiang, Lebak, Banten. Siswa SD di sana dalam beberapa waktu lamanya harus pergi ke sekolah dengan melewati jembatan gantung yang tidak layak pakai, di mana sewaktu-waktu kecelakaan bisa merengut nyawa dan masa depan mereka. Setelah sorotan media dan kritik tajam dari masyarakat, barulah pemerintah daerah setempat cepat-cepat mengucurkan dana Rp1 miliar untuk membenahi jembatan yang buruk itu.
Korban jiwa pada kecelakaan di dekat Stasiun Gambir itu seharusnya bisa dihindari andai fasilitas trotoar (pelayanan publik) yang disediakan pemerintah memadai. Minimal, dari sisi ketinggian (10—25 Cm) dan lebarnya trotoar (minimal 2,5 meter) memenuhi syarat sebagai fasilitas yang mampu melindungi pejalan kaki dari hantaman kendaraan pengendara yang tidak terkendali.
Persoalannya, menurut kajian Natalia Tanan dari Puslitbang Jalan dan Jembatan Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, pejalan kaki di Indonesia masih belum menjadi prioritas, dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya terutama kendaraan bermotor. Pejalan kaki masih dalam posisi lemah dan cenderung menggunakan badan jalan yang seadanya. Kondisi tersebut sangat membahayakan keselamatan pejalan kaki, dan memengaruhi kelancaran lalu lintas.
Buruknya sarana bagi pejalan kaki di DKI Jakarta juga dikukuhkan oleh penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat bidang perkotaan Pelangi bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Institut Transportasi (Intrans). Penelitian lembaga ini menujukan bahwa keselamatan pejalan kaki (di DKI Jakarta) terancam akibat minimnya prasarana untuk mereka. Bahkan, 65 persen korban kecelakaan lalu lintas berakibat kematian, adalah pejalan kaki (www.tempointeraktif.com).
Kedua hasil kajian di atas telah menunjukan betapa menyedihkannya kondisi prasarana pejalan kaki yang ada di Indonesia. Sebagian besar prasarana pejalan kaki di kota-kota besar tak layak digunakan. Jangankan bagi penyandang kebutuhan khusus, orang sehat pun sulit menggunakan prasarana pejalan kaki yang ada. Ketidakpedulian terhadap pejalan kaki itu tampak dari kondisi prasarana bagi pedesterian yang minim, tidak terurus, dibiarkan dihuni para pedagang kaki lima (PKL), parkir kendaraan bermotor, kotor, berlubang, bahkan tidak ramah terhadap kelompok penyandang kebutuhan khusus dan kaum usia lanjut.
Pemerintah bertanggung jawab menyediakan dan menjamin akses fasilitas publik yang memadai bagi masyarakat luas, termasuk layanan trotoar yang berkualitas. Hal ini beralasan, mengingat masyarakat memiliki hak atas kehidupan kota yang meningkatkan kualitas kehidupannya. Menurut Suryono Herlambang (2000), hak masyarakat itu terdiri atas hak atas keamanan umum (public safety right) dan kesehatan lingkungan (public health right). Selain dua hak ini, masyarakat juga memiliki hak atas fasilitas kota yang baik (public amineties right), dan hak partisipasi umum.
Adanya fasilitas trotoar yang baik adalah hak sekaligus kebutuhan bagi masyarakat kita, sebab tersedianya prasarana itu akan menolong aktifitas dan mobilitas publik perkotaan dalam berkegiatan. Mobilitas yang tanpa hambatan tentu akan mendorong masyarakat untuk produktif, juga keleluasaan dalam mengakses berbagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Itu artinya, pemerintah diharuskan memberikan fasilitas trotoar dengan kualitas baik, aman, dan nyaman agar dapat melindungi warga negara pejalan kaki dalam melakukan aktifitasnya. Sayangnya, kecelakaan maut di kawasan Tugu Tani itu kembali mengukuhkan bahwa pemerintah hingga hari ini masih belum maksimal dalam menyediakan kebutuhan fasilitas publik layak pakai, termasuk di dalamnya prasarana trotoar jalan. Alhasil, keteledoran pengendara bertemu dengan buruknya fasilitas trotoar, menyebabkan jatuhnya korban pada pengguna jalan.
Orientasi “proyek” pembangunan jalan raya juga ditenggarai sebagai salah satu faktor buruknya kualitas jalan yang dihasilkan. Ada dugaan bahwa bahan aspal yang sering digunakan untuk perbaikan berada di bawah standar. Akibatnya, setiap musim hujan tiba beberapa ruas jalan di Ibukota, misalkan, kembali rusak. Saat ini hampir di seluruh kawasan Jakarta terdapat jalan rusak. Seperti di jalan-jalan utama, yakni Jalan Gatot Subroto, Jalan M.T. Haryono, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan Matraman Raya. Bahkan, Jalan Sudirman, yang baru saja diperbaiki drainasenya, sangat mengkhawatirkan karena pemasangan penutup drainase di bawah rata-rata aspal, yang berpotensi menyebabkan kecelakaan (Suara Pembaruan.com, 19/01/2012).
Memenuhi hak pejalan kaki
Sebagai bentuk keprihatinan publik terhadap tragedi di dekat Tugu Tani itu, melalui Direktur Ruang Jakarta (Rujak), sebagian masyarakat kita hendak menjadikan 22 Januari sebagai tanggal bagi Hari Pejalan Kaki. Hal ini lahir dari kesadaran bahwa selama ini negara terlalu sering mengabaikan hak-hak pejalan kaki. Maka, perlu ada satu simbol peringatan dari masyarakat guna mendorong munculnya kesadaran bersama, bahwa negara wajib memberikan hak fasilitas bagi pejalan kaki.
Pada konteks buruknya kualitas trotoar di Jalan Ridwan Rais, dinas terkait di jajaran pemerintah daerah DKI Jakarta nampaknya harus mengevaluasi kinerjanya. Tidak memenuhinya stadar kualitas layak sebagai trotoar di tempat kejadian (yakni dengan ketinggian 10—25 Cm), menunjukan adanya kelalaian kerja dari instansi di jajaran pemerintahan propinsi DKI Jakarta. Karena jika tinggi trotoar memenuhi standar, hantaman dari kendaraan pengemudi yang mabuk sekalipun, minimal trotoar tersebut sanggup menahan, sehingga kemungkinan malapetaka yang menimpa pejalan kaki bisa diminimalisir.
Prasarana trotoar di Jalan Ridwan Rais, dari sisi ketinggian memang tidak memenuhi kualitas standar minimal, bahkan lebarnya pun tidak seperti yang seharusnya. Padahal, baiknya trotoar—dan jenis fasilitas publik lainnya—akan mengurangi potensi kecelakaan dalam masyarakat kita. Dan itulah yang mestinya terjadi, sebab di sanalah keberadaan pelayanan publik sebagai wujud kehadiran negara.
Pemerintah harus menyediakan trotoar yang memadai, itu adalah hak pejalan kaki untuk menikmati kenyamanan di jalan. Pemerintah sudah tidak waktunya lagi bermain-main dengan alokasi anggaran. Utamakan politik anggaran yang berpihak bagi pemenuhan fasilitas umum sebagai kebutuhan publik, serta menghentikan intrik-intrik politik buruk yang mengebiri jumlah alokasi anggaran. Karena hanya dengan terpenuhinya anggaran yang dibarengi niatan politik yang berpihak, fasilitas publik yang memadai itu bisa dihadirkan.
Pemberian status tersangka kepada Afriyani adalah masalah lain—di satu sisi—yang tidak boleh menutupi potret buram masalah fasilitas publik di Indonesia, dan khususnya di DKI Jakarta. Kesalahan Afriyani—karena berkendara dalam pengaruh obat terlarang—tentu harus diberikan sanksi berat, akan tetapi faktor rendahnya kualitas fasilitas trotoar di tempat kejadian perkara juga tidak bisa diabaikan. Buruknya fasilitas trotoar di tempat kejadian perkara (TKP) berkonstribusi melahirkan petaka itu.
Buruknya penyediaan fasilitas publik di negeri ini adalah rahasia umum. kualitas berbagai prasarana publik dibangun seadanya. Jembatan Kartanegara di Sungai Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang baru berumur 10 tahun harus runtuh pada 26 November 2011 karena kualitas buruk proyek-proyek di negeri ini yang kerap terjangkit racun korupsi.
Gambaran buruk lain layanan publik itu terlihat dari fenomena jembatan “maut” di Sang Hiang, Lebak, Banten. Siswa SD di sana dalam beberapa waktu lamanya harus pergi ke sekolah dengan melewati jembatan gantung yang tidak layak pakai, di mana sewaktu-waktu kecelakaan bisa merengut nyawa dan masa depan mereka. Setelah sorotan media dan kritik tajam dari masyarakat, barulah pemerintah daerah setempat cepat-cepat mengucurkan dana Rp1 miliar untuk membenahi jembatan yang buruk itu.
Korban jiwa pada kecelakaan di dekat Stasiun Gambir itu seharusnya bisa dihindari andai fasilitas trotoar (pelayanan publik) yang disediakan pemerintah memadai. Minimal, dari sisi ketinggian (10—25 Cm) dan lebarnya trotoar (minimal 2,5 meter) memenuhi syarat sebagai fasilitas yang mampu melindungi pejalan kaki dari hantaman kendaraan pengendara yang tidak terkendali.
Persoalannya, menurut kajian Natalia Tanan dari Puslitbang Jalan dan Jembatan Balai Teknik Lalu Lintas dan Lingkungan Jalan, pejalan kaki di Indonesia masih belum menjadi prioritas, dibandingkan pengembangan jalur untuk moda transportasi lainnya terutama kendaraan bermotor. Pejalan kaki masih dalam posisi lemah dan cenderung menggunakan badan jalan yang seadanya. Kondisi tersebut sangat membahayakan keselamatan pejalan kaki, dan memengaruhi kelancaran lalu lintas.
Buruknya sarana bagi pejalan kaki di DKI Jakarta juga dikukuhkan oleh penelitian Lembaga Swadaya Masyarakat bidang perkotaan Pelangi bersama Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) dan Institut Transportasi (Intrans). Penelitian lembaga ini menujukan bahwa keselamatan pejalan kaki (di DKI Jakarta) terancam akibat minimnya prasarana untuk mereka. Bahkan, 65 persen korban kecelakaan lalu lintas berakibat kematian, adalah pejalan kaki (www.tempointeraktif.com).
Kedua hasil kajian di atas telah menunjukan betapa menyedihkannya kondisi prasarana pejalan kaki yang ada di Indonesia. Sebagian besar prasarana pejalan kaki di kota-kota besar tak layak digunakan. Jangankan bagi penyandang kebutuhan khusus, orang sehat pun sulit menggunakan prasarana pejalan kaki yang ada. Ketidakpedulian terhadap pejalan kaki itu tampak dari kondisi prasarana bagi pedesterian yang minim, tidak terurus, dibiarkan dihuni para pedagang kaki lima (PKL), parkir kendaraan bermotor, kotor, berlubang, bahkan tidak ramah terhadap kelompok penyandang kebutuhan khusus dan kaum usia lanjut.
Pemerintah bertanggung jawab menyediakan dan menjamin akses fasilitas publik yang memadai bagi masyarakat luas, termasuk layanan trotoar yang berkualitas. Hal ini beralasan, mengingat masyarakat memiliki hak atas kehidupan kota yang meningkatkan kualitas kehidupannya. Menurut Suryono Herlambang (2000), hak masyarakat itu terdiri atas hak atas keamanan umum (public safety right) dan kesehatan lingkungan (public health right). Selain dua hak ini, masyarakat juga memiliki hak atas fasilitas kota yang baik (public amineties right), dan hak partisipasi umum.
Adanya fasilitas trotoar yang baik adalah hak sekaligus kebutuhan bagi masyarakat kita, sebab tersedianya prasarana itu akan menolong aktifitas dan mobilitas publik perkotaan dalam berkegiatan. Mobilitas yang tanpa hambatan tentu akan mendorong masyarakat untuk produktif, juga keleluasaan dalam mengakses berbagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Itu artinya, pemerintah diharuskan memberikan fasilitas trotoar dengan kualitas baik, aman, dan nyaman agar dapat melindungi warga negara pejalan kaki dalam melakukan aktifitasnya. Sayangnya, kecelakaan maut di kawasan Tugu Tani itu kembali mengukuhkan bahwa pemerintah hingga hari ini masih belum maksimal dalam menyediakan kebutuhan fasilitas publik layak pakai, termasuk di dalamnya prasarana trotoar jalan. Alhasil, keteledoran pengendara bertemu dengan buruknya fasilitas trotoar, menyebabkan jatuhnya korban pada pengguna jalan.
Orientasi “proyek” pembangunan jalan raya juga ditenggarai sebagai salah satu faktor buruknya kualitas jalan yang dihasilkan. Ada dugaan bahwa bahan aspal yang sering digunakan untuk perbaikan berada di bawah standar. Akibatnya, setiap musim hujan tiba beberapa ruas jalan di Ibukota, misalkan, kembali rusak. Saat ini hampir di seluruh kawasan Jakarta terdapat jalan rusak. Seperti di jalan-jalan utama, yakni Jalan Gatot Subroto, Jalan M.T. Haryono, Jalan DI Panjaitan, dan Jalan Matraman Raya. Bahkan, Jalan Sudirman, yang baru saja diperbaiki drainasenya, sangat mengkhawatirkan karena pemasangan penutup drainase di bawah rata-rata aspal, yang berpotensi menyebabkan kecelakaan (Suara Pembaruan.com, 19/01/2012).
Gambar 2: Trotoar di depan Mall Of Indonesia (MOI) Kelapa Gading, Jakarta Utara (Dok. Pribadi) |
Sebagai bentuk keprihatinan publik terhadap tragedi di dekat Tugu Tani itu, melalui Direktur Ruang Jakarta (Rujak), sebagian masyarakat kita hendak menjadikan 22 Januari sebagai tanggal bagi Hari Pejalan Kaki. Hal ini lahir dari kesadaran bahwa selama ini negara terlalu sering mengabaikan hak-hak pejalan kaki. Maka, perlu ada satu simbol peringatan dari masyarakat guna mendorong munculnya kesadaran bersama, bahwa negara wajib memberikan hak fasilitas bagi pejalan kaki.
Pada konteks buruknya kualitas trotoar di Jalan Ridwan Rais, dinas terkait di jajaran pemerintah daerah DKI Jakarta nampaknya harus mengevaluasi kinerjanya. Tidak memenuhinya stadar kualitas layak sebagai trotoar di tempat kejadian (yakni dengan ketinggian 10—25 Cm), menunjukan adanya kelalaian kerja dari instansi di jajaran pemerintahan propinsi DKI Jakarta. Karena jika tinggi trotoar memenuhi standar, hantaman dari kendaraan pengemudi yang mabuk sekalipun, minimal trotoar tersebut sanggup menahan, sehingga kemungkinan malapetaka yang menimpa pejalan kaki bisa diminimalisir.
Prasarana trotoar di Jalan Ridwan Rais, dari sisi ketinggian memang tidak memenuhi kualitas standar minimal, bahkan lebarnya pun tidak seperti yang seharusnya. Padahal, baiknya trotoar—dan jenis fasilitas publik lainnya—akan mengurangi potensi kecelakaan dalam masyarakat kita. Dan itulah yang mestinya terjadi, sebab di sanalah keberadaan pelayanan publik sebagai wujud kehadiran negara.
Pemerintah harus menyediakan trotoar yang memadai, itu adalah hak pejalan kaki untuk menikmati kenyamanan di jalan. Pemerintah sudah tidak waktunya lagi bermain-main dengan alokasi anggaran. Utamakan politik anggaran yang berpihak bagi pemenuhan fasilitas umum sebagai kebutuhan publik, serta menghentikan intrik-intrik politik buruk yang mengebiri jumlah alokasi anggaran. Karena hanya dengan terpenuhinya anggaran yang dibarengi niatan politik yang berpihak, fasilitas publik yang memadai itu bisa dihadirkan.