Upaya negeri ini melakukan reformasi birokrasi ternyata tidak mudah. Langkah penciptaan lembaga pelayanan publik bersih harus terhadang sikap “toleran” perilaku koruptif di internal lembaga penyelenggara pemerintahan. Maraknya promosi jabatan oleh kepala daerah terhadap mantan terpidana kasus korupsi adalah buktinya.
Sumber hal. 16 Malut Post (22/12/2012): http://malutpost.co.id/?p=4711
![]() |
Artikel di hal. 16 Malut Post (Versi Cetak, 22/12/2012) |
Belum lama ini, publik ramai mengecam pengangkatan Azirwan, mantan Sekretaris Daerah Kabupaten Bintang sekaligus “alumni” rumah tahanan, oleh Gubernur Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai Kepala Dinas Kehutanan dan Perikanan Pemerintah (DKP) Provinsi Kepri. Kasus Azirwan membuat geger seluruh negeri, sebab pengangkatan dilakukan dengan alasan tidak melanggar hukum formal, dan apalagi dengan dalih yang bersangkutan dianggap berprestasi dan berkelakuan baik. Padahal, Azirwan adalah bekas terpidana kasus korupsi dengan vonis penjara 2,5 tahun karena menyuap anggota Komisi IV DPR, Al Amin Nasution, dalam kasus alih fungsi hutan lindung tahun 2008.
Walau akhirnya Azirwan memilih mundur (22/10/2012), pengangkatan tersebut telah mencoreng semangat pemberantasan korupsi di negeri ini, sekaligus membuka dosa sejenis yang dilakukan oleh sebagian kepala daerah di Indonesia. Seperti yang terjadi di lingkungan Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Gubernur Maluku Utara, Thaib Armayin—yang kini menjadi tersangka Mabes Polri dalam kasus korupsi—mengangkat sejumlah mantan narapidana kasus korupsi sebagai pejabat struktural. Mereka di antaranya adalah Kepala Biro Umum dan Perlengkapan Pemerintahan Provinsi Imran Chaili (48) dan Arief Armaiyn (50), adik kandungnya, menjadi Kepala Badan Penganggulangan Bencana.
Imran sebelumnya terlibat kasus korupsi dana darurat sipil tahun 2002 yang merugikan negara sekitar Rp3miliar dan dihukum dua tahun penjara. Sedangkan Arief adalah mantan narapidana untuk kasus korupsi pembangunan Keraton Kesultanan Jailolo pada tahun 2009, yang dihukum satu tahun penjara.
Hal serupa juga dilakukan beberapa Bupati dan Wali Kota. Sebagai contoh, sebut saja Yan Indra, yang terlibat kasus korupsi pembebasan lahan PT Saipem Indonesia tahun 2007, dengan vonis 1,5 tahun penjara, dipromosikan oleh Bupati Karimun, Nurdin Basirun, menjadi Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga. Bupati Natuna Ilyas Sabli mengangkat Senagip, mantan napi kasus korupsi dana bagi hasil migas menjadi Kepala Badan Keselamatan Bangsa. Raja Faisal Yusuf, terpidana kasus korupsi pembangunan gedung serbaguna Tanjung Pinang, dengan vonis 2,5 tahun penjara, oleh Wali Kota Tanjung Pinang, Suryatati, diangkat menjadi Kepala Badan Perizinan Terpadu.
Menteri Dalam Negeri lantas merespon dengan mengeluarkan Surat Edaran nomor 800/4329/SJ tanggal 29 Oktober 2012 tentang Pengangkatan Kembali PNS dalam Jabatan Struktural. Secara substansi surat ini melarang kepala daerah memberikan jabatan kepada bekas napi kasus korupsi. Meski begitu, publik harus menunggu hasil terbitnya surat tersebut, mengingat edaran ini sebatas himbauan tanpa sanksi.
Hentikan sikap toleran
Munculnya polemik promosi jabatan terhadap mantan narapidana kasus korupsi, yang hendak mendudukan mereka sebagai pejabat terhormat, tentu adalah anomali dan merupakan preseden buruk bagi pemberantasan korupsi di tanah air.
Padahal, pemberantasan tindak pidana korupsi akan efektif jika diikuti oleh sistem penghargaan dan hukuman yang dapat dipercaya. Ganjaran dan ancaman menjadi penting dan diperlukan dalam peningkatan efisiensi dan membatasi terjadinya tindakan korup (Susan Rose-Ackerman, 2006: 111).
Pada konteks ini, promosi jabatan seharusnya menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi, berfungsi sebagai penghargaan bagi mereka yang berprestasi dalam kerja dan bersih dari perilaku koruptif, serta sebaliknya tidak ada promosi jabatan bagi mereka yang pernah terlibat kasus korupsi. Sistem monitoring yang terpercaya dan apolitis harus berfungsi sebagai sarana melacak pegawai korup, dan menjadi alat penghambat utama bagi perilaku koruptif pegawai.
Di sisi lain, promosi jabatan terhadap mantan terpidana kasus korupsi sesungguhnya bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi, yang akhirnya melahirkan Undang-Undang RI No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, termasuk alasan pembentukan KPK. Menempatkan tindak pidana korupsi sebagai kejahatan luar biasa—yang telah merugikan keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional—tidak akan berfaedah apa-apa jika dalam menghadapinya, penyelenggara pemerintahan tidak menerapkan kebijakan berkesinambungan yang melahirkan efek jera.
Bukan saja itu, komitmen pemerintah hari ini yang menyatakan “perang” terhadap korupsi, dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai “panglima”, juga akan tercederai dengan adanya sikap toleran yang masih terjadi di lingkungan penyelenggara negara. Komitmen pemerintah Indonesia bahkan layak dipertanyakan publik, jika toleransi terhadap mantan napi kasus korupsi masih leluasa dilakukan. Pembiaran kepala daerah memberikan jabatan penting kepada mereka yang berstatus mantan narapidana korupsi jelas kontraproduktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Adanya promosi jabatan struktural terhadap mantan napi kasus korupsi adalah anomali akut yang mestinya segera disudahi. Bermacam kritik publik yang bermunculan adalah cerminan adanya pertentangan serius antara promosi jabatan tersebut dengan semangat pemberantasan korupsi di tanah air. Untuk itu, kepala-kepala daerah, utamanya yang telah mengangkat mantan napi kasus korupsi menjadi pejabat, agar segera melakukan “pembersihan” kelembagaan dengan melaksanakan isi surat edaran Menteri Dalam Negeri tersebut. Kita berharap tidak akan ada lagi promosi jabatan struktural apapun terhadap mantan koruptor oleh kepala daerah di manapun pasca lahirnya putusan menteri dalam negeri itu.
Sumber hal. 16 Malut Post (22/12/2012): http://malutpost.co.id/?p=4711